27. Selamat Datang

214 48 29
                                    

"Kenapa beli yang ini?"

Kening Sojung mengernyit kesal, bibir wanita itu mengerucut kala menatap Seokjin yang mendadak tegang.

"Kan aku sudah bilang beli yang—"

"Merek pesananmu habis. Tahu sendiri kalau barang diskon—"

"Itu sebabnya aku menyuruhmu bergegas, 'kan?" omel Sojung. "Sekarang malah beli yang lebih mahal, padahal kualitasnya sama saja!"

"Hanya beda tiga ribu—"

"Tiga ribu juga berarti," sela Sojung lagi. Bibir wanita itu kembali mengerucut saat berbalik badan dan mengentakkan kaki sembari menenteng sosis untuk menu makan malam mereka.

"Sojung, jalan perlahan dan jangan dihentak begitu. Ingat, perutmu—"

"Tidak dengar, aku marah!" teriak Sojung jengkel lalu menghilang di balik pintu dapur.

Seokjin mendesah dan melemparkan tubuh ke sofa. Akhir-akhir ini Sojung menjadi berkali lipat lebih sensitif, mudah merajuk, dan ... pelit.

Seokjin paham menjadi sensitif adalah pengaruh hormon kehamilan yang kini sudah menginjak usia sembilan bulan. Berdasarkan hari perkiraan lahir, besok atau lusa Sojung dan Seokjin mungkin akan bisa menimang anak pertama mereka—yang lahir dengan selamat tentunya.

Seokjin memaklumi tingkah Sojung yang mudah kesal itu, dia akan bersabar karena berpikir mungkin setelah melahirkan, perlahan-lahan sifat manja dan penuh cintanya akan kembali. Namun, untuk sifat pelitnya ... Seokjin sedikit ragu.

Seokjin memang mengajarkan pada Sojung agar wanita itu lebih berhemat dan menahan diri dari godaan hal-hal tak penting. Namun, bukan berarti menjadi pelit begini.

Bergaul dengan Mijoo dan neneknya ternyata memberi pengaruh besar. Akibatnya, Seokjin jadi diomel hanya karena hal kecil, seperti membeli sosis yang sedikit lebih mahal hanya karena tidak kebagian barang diskon.

Seperti wanita pada umumnya, sekarang Sojung juga suka berburu barang-barang dengan harga miring di supermarket, padahal dulu istrinya itu membeli tanpa banyak berpikir apakah itu harga yang wajar, apakah itu barang yang benar-benar diperlukan? Sekarang, Sojung harus berpikir berkali-kali hanya untuk membeli satu barang.

"Bagus, dong. Artinya istrimu sudah pandai mengatur keuangan, tidak boros lagi karena sadar keadaan ekonominya sangat berbeda dengan saat dia tinggal bersama ayahnya." Begitu kata teman Seokjin saat pria itu mencurahkan isi hatinya.

"Ya, benar, sih. Aku tak perlu khawatir gajiku habis untuk hal sia-sia selama Sojung yang pegang," balas Seokjin, "tapi tetap saja, paling tidak, dia harus membiarkanku memilih sampo yang kuinginkan."

Rekan Seokjin itu tertawa mendengar keluhan temannya. Saat itu, dari rambut Seokjin memang sering tercium wangi buah beraroma manis alih-alih aroma manly nan menyegarkan seperti yang biasanya Seokjin pakai. Itu karena Sojung telanjur membeli dua botol sampo besar yang sedang diskon di supermarket. Satu untuk Seokjin di kota, satu lagi untuk Sojung.

"Oh, ayolah, itu bukan masalah besar. Istrimu bukan pelit, dia hanya berhemat. Percayalah itu akan sangat membantu untuk kehidupan kalian dalam jangka panjang. Kau harusnya bersyukur karena Sojung bisa menyesuaikan diri secepat itu, padahal kalau dulu, mungkin gajimu hanya bisa membeli satu tas kulit yang biasa istrimu pakai."

Mengingat percakapan Seokjin dengan temannya, pria itu menghela napas dan berusaha mengenyahkan pikiran buruk soal Sojung. Benar, harusnya Seokjin bersyukur karena Sojung tak menggunakan gajinya untuk hal-hal tak berguna.

"Permisi."

Suara seseorang menghentikan lamunan Seokjin. Pria itu segera bangkit dan berjalan ke ambang pintu.

HalcyonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang