Bagian 4 : White Rose for Her

212 34 0
                                    

Dalam hidupnya. Hange selalu merasa kesepian. Malam-malam yang ia lalui, walau dalam keadaan bekerja di Rumah Sakit yang ramai, Hange tidak benar-benar lepas dari rasa sepi yang sejak dulu hinggap dalam hidupnya.

Sampai, ia bermimpi sesuatu yang aneh. Merasa ia benar-benar hidup di jaman, dimana hal seperti manusia raksasa ada, melihat kematian rekan-rekannya tepat di hadapan matanya, dan bahkan melihat dirinya sendiri mati terbakar di antara ribuan kaki Titan Colosal.

Rasa sepi itu perlahan menyeruak. Hilang. Membayangkan hidup yang mungkin tidak buruk, namun bukan juga menjadi lebih baik. Tapi setidaknya, di dunia itu Hange tidak kesepian. Ada banyak rekan yang berdiri di sampingnya, termasuk dia. Levi Ackerman. Pemuda pucat dengan netra kelabu yang menatapnya sayu.

Berlatar di sebuah kafe pinggiran jalan. Hange duduk berhadapan dengan Levi, menceritakan semua klise mimpi, dan membiarkan Moblit berdecak kagum. Bergumam kalimat, "Kalian berdua terdengar tidak waras. Mana ada dunia seperti itu! Dan apa-apaan, kenapa aku harus mati lebih dulu!?"

Mungkin, karena terbiasa bekerja dengan melihat banyak mayat yang aneh. Moblit selalu berdoa, semoga dia mati dalam keadaan yang baik.

"Konyol, ya? Padahal masing-masing dari kita tidak ada yang percaya tentang reinkarnasi. Tapi, mendengar dan melihat mimpi seperti itu, membuatku yakin bahwa ada banyak yang manusia tidak ketahui tentang dunia ini." ucap Hange, ia membiarkan netranya memalingkan pandang dari Moblit yang memilih duduk di luar. Merokok, setelah protes tentang kematiannya di dalam mimpi Hange.

Mengulas senyum, menatap entitas pemuda di hadapannya. Levi hanya mengangguk kecil meladeni ucapannya, jemarinya yang sedikit mungil namun cukup untuk menangkup tangan Hange di dalam hangatnya, berputar di bibir gelas Caramel Macchiato.

"Levi, kenapa tidak di minum?" tanya Hange

"Kopi. Ini mahal, kan? Biji kopinya premium."

"Apa?"

"Aku tidak terbiasa. Sungkan. Tapi, jika kamu memintaku untuk mengganti uangmu, mungkin perlu menabung dulu. Uangnya harus ku pakai untuk membayar listrik,"

Hange tersedak ludah. Seberapa susah ekonomi Levi? Dia tidak keberatan membeli minuman yang harganya sedikit mahal dibanding apa yang ia teguk. Dia memang berniat untuk mentraktir Levi, kenapa pemuda itu begitu sungkan? Dalam lensa normal, mereka mungkin orang asing, tapi jauh dari semua itu. Mereka sudah lama mengenal. Bahkan, perasaan asing yang sejatinya Hange tidak pernah merasakan sebelumnya, kini tumbuh semenjak ia bertemu Levi di kehidupan nyata.

"Aku mentraktir mu. Itu tidak masalah, setidaknya teguklah sekali."

Levi menatap ragu, wajahnya merona samar. Tampak lucu saat dengan kaku meneguk minuman miliknya. Detik berikutnya, Levi mengernyit dengan ekspresi aneh.

"Pertama kali minum kopi, ya?"

"Ya,"

"Bagaimana rasanya?"

"Terlalu manis. Terlalu banyak cream diatas espresso."

Hange berdecih, dia bilang pertama tapi Levi tahu banyak tentang kopi. Bahkan dia tahu biji kopi premium hanya dengan mencium aromanya.

"Kapan-kapan aku akan berkunjung kemari dan minta kau mentraktir ku. Apa saja boleh, tidak perlu mahal. Aku suka makan Onigiri basi, kok. Perutku sudah tahan banting," ucap Hange

"Kamu akan pulang?" tanya Levi mencuri pandang dari dua manik Sienna yang berkilau

"Iya, liburku hanya seminggu. Sudah ku habiskan empat hari di sini, besok aku harus pulang."

KAKURENBO [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang