Mungkin, ini salah. Jika Moblit tahu dia akan mengomel seharian penuh, memarahinya. Sebab, Hange mempercayakan hidupnya pada orang asing. Pikirannya berkecamuk, menanamkan bahwa Levi orang asing, yang ia lihat hanya sebuah mimpi. Dan wajah mereka, nama mereka yang sama hanyalah sebuah kebetulan.
Namun, hati Hange mengelak. Ia menepis segala kerasionalan tersebut. Memilih untuk percaya saat Levi mengajaknya ke sebuah gang yang sepi. Mereka melewati bar tua dengan seorang gadis kecil bersurai sepundak yang menyapu halaman depan, kemudian berbelok ke kiri, sekumpulan anak muda sedang berkumpul membahas movie akhir pekan yang mereka tonton di panggung teater.
Langkah Levi terhenti tepat di depan sebuah rumah kecil dengan pencahayaan minim. Bersih, sih. Tapi, terlalu kecil untuk ukuran rumah yang diisi tiga orang penghuni.
Gadis bermata bulat dan seorang pemuda blonde menyambut Hange. Ia mengutuk diri sebab sempat merasa dirinya mungkin akan di jual. Tapi, melihat bagaimana Isabel ---gadis tadi--- menyambutnya hangat dan Furlan juga Levi yang menghargainya sebagai tamu. Hange menarik pemikirannya beberapa saat yang lalu.
"Aku tidak tahu kalau masih ada orang sebaik kalian," Hange membuka obrolan di kamar Isabel yang benar-benar pas untuk mereka.
Berbagi selimut yang sama, menatap ke atas langit jelaga. Konstelasi dari ribuan bintang menyapa. Hange mungkin tidak akan menemukan pemandangan seperti ini dari jendela kamar hotelnya, paling tidak kehilangan dompet tidak terlalu buruk.
"Masih banyak, kok. Kamu saja yang jarang bertemu dengan orang-orang baik. Dan ku rasa memang sudah takdirnya kamu bertemu dengan Kakak Levi." ucap Isabel
"Levi itu Kakak mu?"
"Bukan. Dia memberiku tempat tinggal saat aku di kejar preman untuk di jual. Walau keuangannya tidak baik, dia tetap membiarkan aku tinggal dengan syarat membantunya bersih-bersih di rumah."
Hange tersenyum. Satu hal yang sama, Levi di dalam mimpinya dan Levi yang ada di dunia nyata, memiliki hati yang sama-sama lembut. Walau wajahnya memang tampak seperti pemuram, hati Levi hangat dan teduh seperti Musim Gugur.
"Kak Hange,"
"Ya?"
"Terima kasih sudah datang. Kak Levi sudah lama---"
Sebelum Isabel bisa menyelesaikan kalimatnya, pintu kamar terbuka. Menampilkan sosok Levi yang menatap tajam ke arah mereka.
"Padamkan lampunya dan tidur. Dinding rumah ini tipis, obrolan tidak penting kalian terdengar. Kau juga, Isabel, berlaku sopanlah pada tamu."
Dan Hange harus terpaksa memejamkan mata. Tanpa sadar, ia terlelap. Begitu nyenyak. Padahal, akhir-akhir ini dia punya masalah dengan tidurnya.
----
"Di mana Levi?" pertanyaan itu menguar tanpa jawaban dari dua sosok yang hanya mengulas senyum ke arah Hange.
Tidak berlangsung lama, sosok Levi muncul dengan sebuah kanvas berukuran besar di tangannya. Pemuda itu tersentak kaget, segera menyembunyikan lukisannya ke dalam lemari.
"Kamu sudah bangun?"
"Iya, aku harus melapor ke Polisi. Tapi, sebelumnya bisakah aku meminta bantuan sekali lagi? Aku harus menghubungi temanku untuk datang menjemputku pulang,"
Isabel yang tadinya sedang mengelap kaca jendela beralih menatap Hange, "Eh? Kamu sudah mau pulang?"
"Hehe, iya. Aku sangat berterima kasih atas izin menginap di sini,"
Hange tertawa kikuk. Saat Furlan menyodorkannya ponsel, Hange tidak mungkin salah melihat. Bagaimana ekspresi Levi berubah sendu, sebelum pemuda itu memilih keluar tanpa mengucap sepatah kata pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAKURENBO [√]
Fanfiction[LeviHan Shortfiction] Yang ia dengar tentang dirinya, pemuda itu adalah Tentara Terkuat Umat Manusia. "Sudah cukup, sudah terlalu banyak matahari yang terbenam, Hange." ucap Levi, "Jangan tinggalkan aku sendirian lagi." Sebab, Levi sudah lelah men...