24. U Make Me Think That I'm Worthy Enough. [Song Bora]

147 21 16
                                    

Musibah membawa berkah; mungkin itu ungkapan yang paling sesuai dengan situasiku sekarang. Aku baru saja menerima sebuah email pemberitahuan tentang tulisan kulinerku yang akhirnya mencapai seribu tayangan baca. Ya, benar, tulisan yang tautannya kusebar di platform komunitas saat gosip pacar kontrak itu sedang panas-panasnya.

Seperti yang pernah ditakutkan Yeonjoo, beberapa username sempat menaruh komentar yang tidak relevan dengan artikelku disana. Tapi sejak surat peringatan ketua angkatan kemarin dirilis, satu persatu komentar itu hilang tanpa jejak. Komunitas kembali damai. Tidak ada lagi yang membahasnya, namun tidak ada pula yang datang padaku untuk sekedar minta maaf. Ya, sudahlah.

Setidaknya, sekarang aku dapat sedikit reward dari kenekatanku menyebarkan tautan tulisan pertama --dan terakhir-- ku itu.

Sepertinya dunia content writing memang belum jadi bidangku. Buktinya, satu-satunya tulisan yang diterima editor website dari sekian tulisan yang kukirimkan hanyalah tulisan ini, tulisan yang kususun dengan bantuan Goeun. Selebihnya, mungkin bersemayam dalam folder rejected-nya editor.

Andai hubungan kami masih baik-baik saja, aku ingin sekali mentraktir Goeun makanan enak dengan upah dari satu-satunya tulisanku ini. Sayang sekali.

Aku bahkan tidak sempat menyampaikan terimakasih dengan benar padanya.

Semoga ia baik-baik saja. Semoga ia dapat teman baru, meski yang kutahu, dia seorang introvert yang sulit percaya pada orang, sepertiku.

Pandanganku teralih pada sweater hoodie ungu yang kugantung dengan hanger di salah satu sisi dinding polos kamarku. Agar tak ditempeli debu-debu, kuselubungi ia dengan selembar plastik bening. Sengaja kutaruh ia disana untuk dua tujuan; sebagai pengingat akan sebentuk kebaikan Joshua, dan sebagai motivasi agar aku bisa bekerja lebih keras untuk bisa membalas hadiahnya itu dengan setimpal.

Jika bicara tentang nominal, baiklah, apa yang selama ini kuberikan memang tidak ada apa-apanya dibanding apa yang sudah kuterima. Sekardus bahan kelontong yang kubeli waktu itu, kudapatkan dengan bonus voucher belanja online pemberian Bibi Hani -- artinya, tak kukeluarkan satu sen pun uang. Kutraktir Joshua snack kedai kaki lima hanya jika aku sudah menerima gaji. Kubuatkan ia kimbab, sekalian bersama bekalnya Minkyun -- artinya aku pakai anggaran belanja keluarga.

Sementara Joshua.. dia sudah memberiku kesempatan mengajar di kawasan elit Hannam-dong, memberiku suplemen kesehatan mahal, membayar ahli IT untuk menangkap pembuli, memberi hadiah sweater hoodie lucu nan mahal ini--

Oh, jika take and give ini harus kugoreskan dalam kurva, rasanya akan mustahil mendapatkan titik equilibrium-nya.

Aku tidak pernah lupa. Level ekonomi kami memang jauh berbeda. Oh, apa boleh ya, berpikir materialistis begini dalam hubungan? Hmm.

Kutegakkan kembali dudukku, menghadapi layar laptop dan menggerakan jemariku di atas keyboard, menelusuri situs pekerjaan paruh waktu setelah sekian lama. Siapa tahu, ada satu dua kerjaan yang cocok dan bisa menolong situasi keuanganku sekarang.

Motivasi hoodie mahal itu benar-benar bekerja, rupanya.

☆☆☆

Sejak pagi, aku sudah terjebak dalam sebuah situasi canggung. Saat akan membangunkan Minkyun yang masih pulas karena begadang dengan game semalam, sesuatu yang tergeletak di meja belajar Sangkyun menarik perhatianku. Tanpa sadar, aku menyambarnya, membukanya, dan melihat isinya dengan seksama.

Belum sampai kulihat lama, pemiliknya yang baru selesai mandi itu datang ke kamar, merebutnya dari tanganku, dan menatapku tajam seolah aku adalah seorang tersangka pencurian permata. Dan itulah interaksi pertamaku dengan Sangkyun setelah perang dingin berminggu-minggu. Lalu dia pergi ke sekolah tanpa sarapan, membuat Ibu bertanya-tanya.

I DESERVE UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang