Aku selalu percaya pada kekuatan kata-kata, terutama yang terucap dari orang yang kupercaya. Saat gereja yang dulu kudatangi bilang bahwa aku cukup mampu untuk menjadi gitaris baru di band pengiring puji-pujian, kemampuan main gitarku langsung meningkat pesat saat itu juga. Saat orangtuaku bilang bahwa mereka percaya aku bisa tinggal di Korea sendirian, lihatlah, aku juga bisa bertahan sampai hari ini.
Entah lugu atau bodoh, bahkan secarik kertas berisi hukuman konyol yang menentukan nasibku tiga bulan kemudian saja, juga tetap kuturuti, karena itu ditulis oleh Jeonghan yang notabene sahabatku yang paling kupercaya. Dan sekarang, Song Bora memintaku berada di jarak aman hingga ujian selesai. Dan aku, with no doubt, menurutinya.
Ini hari kesebelas yang kulalui tanpa sepatah chat pun darinya. Kami datang ke kampus tanpa mencari satu sama lain, dan jika berpapasan, salah satu dari kami akan berusaha mengalihkan pandangan duluan. Sampai dia punya keberanian untuk menemuiku, aku harus menahan diri.
Aku merindukannya setengah mati, tapi aku juga harus memberinya waktu untuk menata kembali hatinya yang - baiklah, kuakui - sudah kubuat berantakan itu.
Setidaknya aku merasa lega bahwa ia terlihat baik-baik saja. Aku juga yakin, dia bisa menjalani ujian dengan baik dan mempertahankan posisi Ma-Pres, seperti biasanya.
Besok, masa ujian dimulai. Dibanding belajar mati-matian hingga detik terakhir, aku lebih memilih santai dan menjaga moodku lebih baik - karena aku sudah belajar keras di hari-hari sebelumnya. Bahkan untuk ujian semester kali ini, aku membuat jadwal rencana belajar setiap malam yang kutempel di depan meja belajarku, agar tidak keteteran. Meniru Bora.
Jadi aku memulai hari Mingguku ini dengan santai; membuat roti lapis dengan sisa bacon di kulkas dan menyeduh kopi di mesin brewer mini milik Mama. Ternyata tidak mudah ya, meracik kopi enak. Padahal aku tinggal jalan lima menit dan membeli makanan jadi di kafe Pinwheel saja tanpa perlu repot-repot begini. Tapi aku sedang berhemat. Uang jajanku, 'kan, sudah habis dibelikan kalung cantik untuk hadiah seratus hari jadian.
Tidak, jangan salah paham, aku tidak sedang menyesalinya. Aku tidak keberatan kok, kalau harus bereksperimen dengan racikan kopi demi mendapatkan rasa yang kuinginkan. Dengan sedikit trial and error, akhirnya aku bisa membuat latte yang lumayan enak.
Ah, hubunganku dengan Bora pun bisa membaik kalau aku bisa bersabar sedikit lagi, 'kan? Tinggal dua minggu lagi. Tidak lama, 'kan?
Anggap saja begitu. Astaga, aku jadi sentimental hanya karena secangkir kopi. Konyol sekali.
Ponselku dideringkan sebuah panggilan telpon. Seungcheol. Ah, benar juga, dia punya janji mentraktirku daging hanwoo sepulang dari Daegu, tapi karena sibuk belajar, kami jadi susah bertemu.
Lumayan 'kan, bisa makan enak gratis di akhir bulan. Haha.
*
Dugaanku benar bahwa Seungcheol mau mentraktirku daging malam ini. Yang agak lain adalah, dia menyuruhku datang dengan baju olahraga karena ingin main satu set tanding bola basket dulu di GOR keluarganya. Hah, mudah sekali ditebak.
Dia pasti sedang berencana mengakurkanku dengan Jeonghan.
Ya sudahlah. Aku juga tidak berniat lagi mendiamkannya. Lagipula, meski hidup ternyata tetap berjalan tanpa mereka, lama-lama aku merasa kesepian. Sudah cukup aku bertindak bodoh dengan mengisolasi diriku dibalik alasan perenungan panjang. Sudah saatnya kembali ke mode Joshua yang bergantung pada Jeonghan dan Seungcheol. Mereka memang gila, tapi tanpa mereka, mungkin saja aku yang jadi gila sendirian.
Tidak ada siapa-siapa di lapangan basket saat aku tiba. Saat menaruh tas, aku menemukan tas merah mencolok tergeletak di loker bawah. Itu punya Jeonghan. Tak ada sedikitpun jejak Seungcheol.
KAMU SEDANG MEMBACA
I DESERVE U
FanfictionApakah sejatinya, cinta adalah tentang kepantasan? Berawal dari secarik kertas hukuman sialan dari sahabatnya gara-gara kalah tanding basket satu-lawan-satu, Joshua harus mengakhiri status singlenya dengan mengencani seorang gadis acak selama tiga b...