ㅤㅤㅤ⌕ ˇ RZ - 5 ⎙ 𖣂 𓄹

21 8 13
                                    

Harap di follow dulu, teman >3

●●●
HAPPY READING
●●●

"Yah, jalan-jalan yuk!" ajak Zeline sambil mendudukkan dirinya di sebelah sang ayah.

"Ayah baru balik Zeline! Kamu mau ayah cape?"

"Enggak gitu, Yah. Yaudah deh, kapan-kapan aja." Zeline diam sejenak, lalu kembali berucap, "Ayah, kapan balik ke Bogor?" lanjut Zeline bertanya.

"Kamu mau banget ya, ayah balik?" sinis Jovan lagi.

Zeline memutar bola matanya malas. "Ayah sensi banget, deh. Aku kan kepo, gitu doang," ujar Zeline rada kesal.

"Dari pada kamu sibuk nanya-nanya, Ayah. Mending belajar sana, setidaknya kamu bisa kayak Zoya," ucap Jovan.

Zeline menghela nafas berat. Ayahnya itu sangat suka membanding-bandingkan dirinya dengan, Zoya. Zoya memang pintar, dia juga cantik. Tapi setidaknya Jovan tidak harus selalu membandingkan dirinya dengan Zoya, kan? Zoya memang kakak tirinya. Ya, kakak tirinya Zeline. Tapi, Zoya bahkan tidak menganggap begitu. Lantas, jika Zeline tidak menganggap Zoya sebagai kakak tirinya, apa itu salah?

"Kami berbeda, Yah."

Jovan menoleh. "Apanya beda?! Bedanya kamu itu malas, Zoya rajin! Bedanya kamu jelek, Zoya cantik. Bedanya Zoya pekerja keras, kamu nggak! Itu bedanya! Yang lain, sama!"

"Beda ibu, beda yang ngelahirin! Beda sifat, beda, pokoknya beda!" tegas Zeline. "Ayah nggak bisa nyamain gitu aja, kami beda. Tetap beda! Nggak akan pernah bisa sama," lanjut gadis itu lagi. Zeline langsung bangun dan masuk ke dalam kamar, tempat yang selalu mendengarkan tangisannya.

●●●

Rafa baru saja selesai mandi. Saat ini, cowok itu tengah memasukan buku-bukunya ke dalam tas sekolah. Seharunya sih malam, sebelum tidur. Tapi Rafa nyiapin bukunya malah pagi.

"Raf, buruan!! Lama bener. Makanya, kalau siapin buku tuh malam, biar nggak telat sekolahnya," ujar Dafa menasehati.

"Halah, bacot! Suka-suka gue, gue yang telat bukan lo. Lo mau pergi, silahkan. Gue nggak minta lo buat nungguin gue," jawab Rafa ketus.

"Santai aja, pak. Jangan ngamuk-ngamuk, masih pagi." Dafa terkekeh kecil.

"Iyain aja. Om-om ngomong," balas Rafa cuek. Lalu turun ke lantai bawah untuk sarapan. Begitupun dengan Dafa.

"Pagi, anak Mama..." Azalea langsung memberikan Dafa duduk. Berbeda dengan Rafa yang langsung duduk sendiri.

"Lebay banget," batin Rafa melihat Mamanya memperlakukan Dafa layaknya seorang pangeran.

Dafa tersenyum kepada Rafa, tapi tentunya tidak dibalas oleh sang kakak. "Aku padahal bisa sendiri, Ma," ucap Dafa. Dafa jadi tidak enak kepada Rafa. Mereka selalu dibedakan dalam hal apapun.

Reon menatap anaknya sambil tersenyum. "Gimana nilai kamu, Daf?" tanya Reon pada anaknya Dafa.

"Alhamdulillah, baik kok, Pa."

"Kamu, Rafa?" tanya Reon kepada Rafa pula. Wajahnya berubah drastis, terlihat seperti meremehkan.

"Lumayan," jawab Rafa tidak minat. Orang tua jaman sekarang terlalu sibuk berlomba-lomba agar anaknya dapat nilai tertinggi. Apa mereka tau? Anaknya jadi tertekan karena hal itu. Ya, belajar memang penting. Sangat penting bahkan. Tapi, tidak dengan cara memaksa untuk mendapatkan hasil yang bagus kan.

RAFAZELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang