"Ada mereka yang begitu membenci satu sama lain tanpa menyadari bahwa mereka berselisih karena memiliki begitu banyak persamaan."
🥀🥀🥀
Jujur saja, dalam enam belas tahun kehidupannya, Gara tidak pernah merasa setakut ini sebelum melakukan sesuatu. Ia tidak tahu kenapa ia bisa mengikuti ajakan Lyra untuk mengunjungi seorang psikiatri.
Bukan untuk dirinya tentu saja, meskipun Gara menyadari mungkin ia membtuhkan sedikit bantuan, tapi kali ini Gara ingin melakukannya untuk sang Ibu.
Jadi pagi itu, ia, Luka dan Lyra duduk berdampingan di ruang tunggu, menunggu panggilan untuk bisa masuk dan membicarakan masalah yang Anna hadapi sampai saat ini.
“Gue ke kamar mandi dulu,” ujar Luka sembari bangkit dan berlari menuju ujung lorong. Gara mengerjapkan matanya mencoba untuk mengerti.
“Kenapa Luka keliatan lebih gugup daripada gue?” Lyra tersenyum sembari menepuk punggung tangan Gara dua kali. “Dia udah nggak pernah ke rumah sakit lagi sejak Ayah meninggal. Bisa dibilang tempat ini saksi gimana Luka kehilangan dua dunianya.”
“Za, harusnya dia nggak usah ….” Lyra menggenggam tangan Gara untuk menghentikan laki-laki itu. “Luka yang mau. Dia yang paling ngerti, dia nggak mau lo gugup sendirian pas jelasin gimana keadaan Ibu lo.”
“Luka ….”
“Lo tahu Ibunya Luka sakit keras, 'kan sebelum meninggal? Ada saat di mana Luka adalah seseorang yang nemuin Ibunya dalam keadaan nggak sadarkan diri. Anak usia tujuh tahun lari-larian buat manggil pertolongan. Anak umur tujuh tahun, jelasin semua kejadiannya ke pihak rumah sakit yang nanya saat itu. Luka, lebih dari tahu. Lebih dari ngerti tentang banyak rasa sakit, meskipun nggak sepenuhnya sama dengan yang lo alamin.”
Gara memejamkan kedua matanya sembari tersenyum kecil. “Ketemu kalian berasa mimpi lama-lama.”
“Kenapa gitu?” tanya Lyra tak mengerti.
“Lo paham, gue nggak pernah dapet hal baik selama ini. Jadi pas gue ketemu, kenal sama lo berdua dan belajar lebih banyak hal, gue selalu mikir. Ini mimpi, suatu saat nanti lo berdua bakal hilang dari mimpi itu. Tepat saat gue bangun.”
“Gue sama Luka nggak ada alasan buat ngilang sih. Nggak ada rencana juga.”
Pendar senyuman Zalyra saat itu membuat Gara bisa meyakini kata-katanya. Entah, meskipun rasanya ia terlalu mudah mempercayai sesuatu yang berhubungan dengan Lyra dan Luka, gara terkesan tidak peduli. Sejauh ini keduanya telah memberikan banyak hal, jadi sedikit kepercayaan rasanya bukanlah hal yang berlebihan.
“Lo berdua ngapain dah gandengan gitu? Mau nyebrang?” Keduanya otomatis melepaskan genggaman itu saat Luka datang dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
“Jangan mikir aneh-aneh. Gue Cuma tenangin Gara.”
“Siapa yang mikir aneh-aneh,” ujar Luka tak habis pikir. “Ya terus muka lo kenapa kayak gitu? Berasa abis mergokin orang selingkuh.”
“Ya abisan lo berdua daritadi dipanggilin ama mbak susternya nggak nyaut.”
Dua orang yang beberapa bulan lebih tua dari Luka itu otomatis menatap ke arah pintu ruang psikiatri yang sudah terbuka. Seorang perawat berdiri di sana dengan senyum lebar seakan merasa lucu atas sikap ketiganya.
“Atas nama Raksa Kanigara?” Sulung dari Ardhanu itu lantas bangkit sembari sedikit membungkukkan badannya sebagai gesture permintaan maaf. “Saya.”
“Silahkan masuk, dokter sudah menunggu.”
🥀🥀🥀
Gara tidak mengerti kenapa nafasnya terasa tidak nyaman. Padahal ia sudah keluar dari ruangan psikiatri semenjak 5 menit lalu. Tapi getar di jemarinya tak kunjung mereda, nafas terengahnya tak kunjung usai, selaras dengan wajahnya yang memerah menahan begitu banyak gejolak emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Sang Raksa
Teen FictionBlurb: Raksa memiliki arti perlindungan dalam bahasa Sanskerta. Sementara luka memiliki artian sebagai rasa sakit yang dibenci oleh semua orang. Sejatinya pelindung ada untuk melindungi seseorang dari luka. Tapi bagaimana jika sang pelindung itu jus...