Bagian 2 (Angin yang Sama)

1.5K 221 29
                                    

“Setiap tanaman memiliki banyak permasalahan berbeda saat proses bertumbuh. Namun beberapa memiliki permasalahan yang sama. Contohnya, angin berhembus terlalu kuat. Menumbangkan pohon rapuh yang belum memiliki akar yang cukup kuat.”

🥀🥀🥀

Buku pelanggaran. Ini pertama kalinya Gara melihat benda yang menyerupai buku hitungan saat pelajaran ekonomi itu di ruang BK SMAN Adhi Setya. Netranya bergerak cepat menelusuri nama demi nama serta pelanggaran yang tercatat di sana. Dan ya, setidaknya nama Luka tercatat sebanyak 7 kali dalam kurun waktu 3 bulan masa SMA-nya.

“Raksa, nunggu apa? Ayo cepat catat nama kamu.” Mengusap tengkuknya dengan malas, Gara mengambil bolpoin di dekat tangannya kemudian menuliskan namanya sendiri. Awal yang bagus di minggu pertamanya sebagai murid Adhi Setya.

“Sekolah ini ibaratnya penjara kedisplinan. Aturannya keras, sat!”

Gara melirik ke arah Luka yang berjalan bersisian dengannya saat keluar dari ruang BK. Mereka sama-sama membawa sapu lidi untuk menyapu halaman belakang sekolah sebagai hukuman.

“Keras gitu lo juga masih doyan cari perkara, Teng,” komentar anak bermata minimalis yang kalau Gara tidak salah lihat bernama Riki.

“Mana ada. Masalahnya yang doyan sama gue.”

Begitu sampai di halaman belakang, Gara cukup terkejut karena tempat itu mirip dengan halaman rumah terbengkalai yang ada di film-film horror. Tumpukan meja dan kursi di depan sebuah rumah kecil yang ia yakini sebagai gudang. Pohon-pohon setengah layu yang daunnya berguguran layaknya diterpa angin kencang dan jangan lupakan rumputnya yang tumbuh tinggi sampai sebatas lutut Gara.

“Kita butuh clurit nggak sih ini?”

“Anjing, Rik! Serem banget bahasa lo.” Luka memukul bagian belakang kepala Riki sampai laki-laki yang sepertinya memiliki keturunan Jepang itu nyaris terjerembab.

“Teng! Kira-kira dong anjing ah. Untung gue kaga nyusruk.”

“Lagian enteng banget badan lo. Ditepok dikit nyusruk.”

Gara sedikit menggelengkan kepalanya. Malas mendengarkan perdebatan dua teman sekelasnya yang lebih mirip dengan anak kecil itu. Sekali lagi ia menatap sekeliling, merasa menyesal karena tidak memilih membersihkan kamar mandi yang sebelumnya ia pikir akan menjadi hubungan yang lebih buruk.

“Gue cari apaan gitu deh dulu. Buat motong rumputnya. Lo berdua pungutin sampah di pinggiran.” Riki kemudian berlalu, meninggalkan Luka dan Gara dengan wajah frustasi yang cukup kentara.

“Kenapa lo nggak bilang?” Luka menaikkan sebelah alisnya tak mengerti saat suara bernada rendah Gara menyapa indra pendengarannya. “Bilang apa?”

“Keadaan halamannya. Nggak mungkin lo nggak tahu,” ujar Gara ketus.

“Ooh.” Luka menyisir surainya ke belakang sembari tersenyum menyebalkan. “Itu sengaja sih gue nggak ngasih tahu. Soalnya gue pengen lebih lama skip kelas.”

“Goblok!,” umpat Gara kesal, “kalau kondisinya begini mau sampai seminggu lo bersihin juga belum tentu bisa bersih,” sambungnya.

“Ya bagus. Artinya kita skip kelas seminggu.”

Siapapun, tolong tahan Gara untuk tidak memukul kepala Luka dengan gagang sapu dalam genggamannya. Gara memang suka membolos, tapi tidak dengan melakukan pekerjaan social seperti ini selama satu minggu penuh.

Luka Sang RaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang