Bagian Keenam (Cinta adalah Luka)

1K 177 17
                                    

“Kebanyakan orang terlalu mementingkan ego mereka tanpa berpikir bahwa suatu saat keegoisan itu hanya akan menghancurkan semuanya.”

🥀🥀🥀

Jovan meletakkan paper bag berisi oleh-oleh dari Diana untuk Gara yang gagal ia berikan karena lagi-lagi kakaknya itu memilih menghindar. Menatapnya penuh kebencian, membuat Jovan merasa takut sendiri hanya untuk sekedar berucap.

Helaan nafas kasar si bungsu dari Ardhanu itu mendapat perhatian dari Diana yang tengah membuat makan malam di dapur. Menyadari bahwa putranya sudah pulang, Diana berlari kecil. Menghampiri Jovan yang masih belum menyadari sosoknya kemudian memeluk tubuh putranya itu dari belakang.

“Udah pulang sayang-nya Mama.” Jovan tambah menghela nafas sembari merengut. Ia merentangkan kedua tangannya, mirip dengan seorang bayi yang membutuhkan pelukan.

Diana tersenyum gemas, kemudian melangkah mengitari sofa untuk bisa memberikan pelukan hangat pada putra bungsunya satu itu. Jovan langsung menenggelamkan wajahnya pada pelukan sang ibu. Mencari kehangatan dan juga kenyamanan.

Diana mengusap surai putranya itu dengan lembut. Netranya menatap ke arah paper bag yang ada di atas meja. Jovan membawa pulang hadiah untuk Gara. Lagi ….

“Jo … abangnya nggak mau terima, ya?” Jovan sedikit mengeratkan pelukannya sembari mengangguk. “Lain kali, Mama aja yang nganter, ya?”

“Kok gitu? Udah nyerah?”

“Bukan, Ma,” rengeknya sembari melepas pelukan. “Kalau ngeliat Jo, Gara jadi sedih, kesel. Kehadiran Jo bikin harinya Gara berantakan.”

“Sayang ….” Diana menggeleng sembari mengusap pipi Jovan lembut. “Abang pasti seneng kamu dateng buat ketemu dia.”

“Jovan tahu Gara nggak pernah ngerasa kayak gitu, Ma. Semenjak Gara tahu kalau Mama punya Jovan di saat Papa masih sama Mamanya Gara. Gara berubah. Gara sejauh itu. Jovan ini luka buat dia.”

“Sshh. Maaf ya, sayang? Maafin Mama.”

Jovan menekan bibir dalamnya kuat-kuat. Sudah lama ia ingin menayakan sesuatu. Tapi ia takut hati Diana mungkin akan terluka karenanya. Jovan takut, Diana akan merasa bahwa Jovan menyalahkannya atas semua yang terjadi.

“Ma … Jovan mau tanya sesuatu. Tapi ini bukan berarti Jovan salahin Mama atas semua yang terjadi. Enggak sama sekali. Jovan Cuma nggak ngerti, nggak paham.” Jovan menjeda kalimatnya dengan air mata yang menggenang di balik pelupuk. Diana dalam diam sudah tahu kemana arah pembicaraan sang putra, tapi ia dengan sabar menunggu. Menunggu Jovan siap untuk mengutarakan semua pertanyaannya.

“Kenapa Mama … bisa punya aku. Sementara Papa masih sama Mamanya Gara?”

“Kamu pasti paham kalau Papa dan Mama punya hubungan terlarang sebelum akhirnya menikah, Jo.”

“Iya tapi kenapa? Kenapa harus ngelakuin itu?”

Diana tersenyum tipis. Bukan senyuman bahagia, melainkan sebuah senyum penyesalan atas apa yang sudah terjadi sejauh ini. “Kalau Mama cerita mungkin kamu juga akan berfikir kayak semua orang, Jo. Semua orang mikir Mama Cuma beralasan. Mama perusak kebahagiaan wanita lain. Mama egois.”

“Ma ….” Jovan menggeleng. Ia tidak suka mendengar Diana merendahkan dirinya seperti itu.

“Papa kamu itu cinta pertama, Mama. Kita pernah menjalin hubungan saat masih di bangku SMA. Lalu kami berpisah setelah lulus SMA karena beberapa hal. Ego anak muda, emosi yang tidak stabil. Mama ketemu Papa kamu lagi 7 tahun setelahnya. Di Surabaya, kampung halaman Mama. Papa kamu melakukan perjalanan bisnis di sana dan Mama memang kebetulan membantu usaha Kakek. Pertemuan itu membangun semua memori lama yang sudah kami kubur dalam-dalam. Mama merasa jatuh cinta lagi, dan begitulah kami kembali memulai hubungan. Bodohnya Mama nggak pernah cari tahu apa Papa kamu sudah punya seseorang dalam kehidupannya.”

Luka Sang RaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang