Mute masih menangis di kantor polisi, tepatnya di ruangan Brian. Brian masih menyelidiki kasus kemarin, dia masih mengumpulkan bukti-bukti yang dia dapatkan. Entah dimana keberadaan Morgan sekarang.
"Berhentilah menangis, kau sama sekali tidak membantu apa-apa," ucap Brian.
"Hiks, Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Bri, kamu tahu, ayah satu-satunya yang aku punya."
Brian juga tidak bisa berbuat banyak untuk menenangkan Mute, dirinya juga sudah cukup stres dengan banyaknya kasus pembunuhan yang datang secara beruntun. Bahkan dia sudah hampir seminggu ini tidak tidur, kantung hitam di matanya terlihat sangat jelas. Kasus kematian Sirna, Sam, saja dia belum bisa pecahkan.
Tok. Tok. Seorang petugas mengetuk pintu, Brian mempersilahkan masuk. Petugas itu menyerahkan amplop di tangannya, Brian menerimanya, dia kemudian membuka isi amplop tersebut, di dalam amplop terdapat beberapa lembar kertas berisi dan dan beberapa lembar foto.
"Lapor, itu adalah berkas yang baru dibuat pagi ini, ada korban yang di temukan tak jauh dari tempat kasus anak kecil kemarin," setelah melapor, petugas itu pergi.
Brian membaca kembali semua berkas yang tadi di berikan petugas itu, membaca dengan teliti, bahkan dia sampai mengulangnya karena takut, dia salah membaca, belum lagi, ketika matanya menatap foto yang dilampirkan, Brian sangat tahu betul itu foto siapa, Brian menatap mute yang masih menangis di sofa ruangannya. Haruskah dia memberitahukan berita ini? Mute akan sangat terpukul mendengarnya.
Brian memasukan kembali semua berkas ke amplop tadi, membawanya menghampiri Mute, Brian duduk di sebelah Mute, memberikan amplop tadi.
"Bukalah," Brian berkata dengan hati-hati.
Mute menatap Brian sejenak, menghapus jejak airmata di wajahnya, dia mengambil amplop itu, membukanya dengan jantung yang berdetak kencang, rasanya dia tak yakin siap membuka berkas itu, saat melihat salah seorang petugas yang mengantarkan berkas, dan bagaimana Brian menatap dirinya. Mute tahu, ini bukan sebuah kabar baik.
Mute mengeluarkan semua berkas yang ada di dalam, begitu matanya menatap foto yang terselip, Mute mengambilnya, seketika menutup mulutnya, tangannya bergetar begitu menatap selembar foto yang menunjukkan seorang pria yang terbaring dengan wajah yang sudah pucat.
Mute kembali mengambil foto lainnya, Mute tak bisa menahan tangisnya begitu melihat foto itu, itu foto ayahnya, dia sangat tahu betul, foto dimana banyak sekali bekas jahitan hampir di seluruh tubuhnya.
"Bajingan mana yang tega melakukan hal sekeji ini," Mute berkata sambil meremas foto di kedua tangannya. Matanya menatap marah dan penuh kebencian. Brian tak bisa berkata-kata, dia sendiri masih tidak percaya, siapa yang bisa dengan keji melakukan semua pembunuhan itu, karena Brian yakin, dalang di balik semua kasus pembunuhan yang ada itu satu orang.
🌿🌿🌿
Morgan tengah menyesap sebatang nikotin di tangannya, menghisapnya dengan kuat, kemudian menghembuskan asap yang menyesakkan dada. Duduk termenung di pagar pembatas jalan, menatap ke arah atap-atap rumah yang terlihat sangat kecil dari atas ketinggian. Menikmati setiap embusan angin yang mengibarkan rambutnya, mendengarkan suara jangkrik di musim panas.
Morgan tahu, cepat atau lambat ia pasti akan ketahuan pada akhirnya, tapi sebelum itu terjadi Morgan masih ingin bermain-main.
Morgan mengabaikan ponselnya yang terus berdering, dia menatap sekilas ponsel itu, yang menampilkan nama Brian di sana. Sepertinya mayat ayah Mute sudah ditemukan.
"Paman, ini untukmu," seorang anak kecil tiba-tiba menghampirinya memberi sepucuk surat untuk Morgan, Morgan melihat anak itu dengan heran, pasalnya di sini termasuk kawasan terpencil, bagaimana bisa seorang anak dibiarkan sendirian.
Morgan menjatuhkan nikotinnya, ia menginjaknya guna memadamkannya, dia kemudian mengambil surat itu, berjongkok guna mensejajarkan dengan anak manis di depannya.
"Darimana kau mendapatkan surat ini?" tanya Morgan.
"Aku mendapatkan dari kakak cantik di sana," tunjuk anak itu ke ujung jalan dimana ada pohon besar di sana. Morgan melihat ke arah yang ditunjuk, dia tak melihat ada seseorang di sana, Morgan kembali menatap anak manis di depannya.
"Terima kasih, pulanglah, orangtuamu pasti akan mencari," Morgan menyuruh anak itu pergi, melihatnya sampai dia menghilang di ujung jalan.
Morgan menatap surat di tangannya, sepucuk surat dengan stempel daun Semanggi di atasnya, Morgan membaca surat itu, lagi-lagi sebuah kode.
01000010 01000101 01010010 01010100 01000101 01001101 01010101
Kode ini memang terlihat panjang, namun sebenarnya artinya hanya satu kata 'Bertemu', Morgan membalik surat itu, di sana ada sebuah tempat yang tertulis.
Malam ini, Club' Veroz ruang VIP, 23.00, aku menunggumu.
Haruskah Morgan datang, mungkin ini saatnya dia bertemu dengannya. Sebelum pergi Morgan menatap kembali ujung jalan dimana sebuah pohon beringin yang berdiri tegak di ujung jalan, memberi kesan horor bagi siapa saja yang melihatnya.
🌿🌿🌿
Brian dan Mute sedang berada di lokasi. Lagi, tempat ini menjadi tontonan masyarakat di sekitar. Mute langsung masuk, begitu ia melihat ayahnya tergeletak di sofa, Mute langsung memeluk ayahnya yang sudah tak bernyawa. Menangis meraung-raung sambil mengguncangkan tubuh ayahnya, berharap dia akan bangun. Brian membiarkannya, dia tahu, Mute sekarang sangat terpukul.
Morgan datang, berdiri di sebelah Brian yang masih menatap Mute. Brian yang mengetahui Morgan di sebelahnya menatap dengan kesal.
"Darimana saja kau? Kau tahu aku mencarimu kemana-mana, kenapa kau selalu pergi dan datang seenaknya."
"Kau cerewet, seperti wanita saja."
"Kau-" Brian tak melanjutkan ucapannya, dia akan benar-benar terkena darah tinggi jika terus melanjutkan berdebat.
Moran dan Brian terlihat berpakaian hitam, ikut berdiri dengan kerabat Mute, orang-orang terlihat berbelasungkawa atas kematian ayah Mute, walau sebagian orang ada yang mencibirnya karena ayah Mute memang seorang yang kasar dan hanya bisa membuat onar. Mute masih menangis memeluk peti mati ayahnya.
Seorang wanita dengan sanggul kecil, dan dress hitam yang terlihat elegan tampak berjalan, suara sepatu yang di pakai wanita itu membuat beberapa pasang mata menatapnya bingung. Kacamata hitam yang terpasang di wajahnya menutupi mata indahnya, wanita itu membawa bunga tulip putih, menyimpannya diantara bunga yang lain. Membungkuk memberi hormat, duduk setengah berdiri di hadapan peti mati, menatap foto pria yang terpajang disana. Dibalik kacamata hitamnya, menatap rindu pada orang dalam foto itu.
Wanita itu membelai peti mati itu, dengan gerakan pelan seolah setiap gerakan adalah ucapan yang ingin ia sampaikan, Mute mantap wanita itu dengan bingung. Dia tidak tahu siapa wanita itu, mungkin itu hanya teman ayahnya.
"Ayah," wanita itu berkata dengan pelan hampir tak terdengar. Seketika Mute menatap lekat wanita itu, wanita itu menatap Mute, mereka saling bertukar pandangan, mengutarakan isyarat yang tak tersampaikan.
🌿TBC 🌿
Day 11
KAMU SEDANG MEMBACA
MISSING [END]
Mystery / ThrillerMorgan, detektif spesial percikan darah di Kepolisian Utara, adalah seorang pria yang tampan dan karismatik. Namun, tidak ada yang tahu bahwa ia adalah seorang pembunuh yang gila. Kali ini Morgan dihadapkan dengan kasus pembunuhan berantai yang ter...