Tresa menatap dirinya dibalik pantulan cermin di kamarnya, mengelus kulit pipinya, menatap sedu. entah mengapa dia menjadi benci menatap wajahnya. Tresa mengambil masker, menutupi setengah wajahnya. Tresa keluar dari apartemen, mengendari sepeda motornya menuju salah satu sekolah menengah di kota Utara. Dia seorang guru magang yang mengajar seni di sekolah itu.
Tresa memarkirkan sepeda motornya di parkiran, jam mengajarnya masih satu jam lagi, sekarang baru jam dua belas, sebagain besar siswa sedang istirahat makan siang.
Koridor masih dipenuhi para siswa yang berkeliaran, sekadar duduk di kursi koridor, ada juga yang terlihat bermain-main dengan temannya. Tresa melewati lapangan, matanya menatap seorang siswa yang tengah bermain sepak bola di sana. Wajahnya yang berkeringat memikat kamu hawa, begitu bola yang ditendang anak itu memasuki gawang, sorak Sorai siswa lainnya memenuhi lapangan, belum lagi teriakan para kamu hawa yang sangat mendominasi. Tresa melanjutkan langkahnya menuju ruang guru, berjalan menuju kursinya, membereskan buku yang akan dia bawa, ruang guru terlihat sepi hanya dia seorang yang ada di sana.
Tresa membawa buku menuju ruang khusu pelajaran seni, begitu dia masuk baru ada satu orang yang ada di sana, seorang gadis yang pendiam di kelasnya, tak banyak bicara. Belum sempat Tresa menghampirinya, bel tanda masuk berbunyi, membuat murid berbondong-bondong masuk ke ruang seni.
Hari ini Tresa menugaskan mereka untuk melukis buah apel yang di simpang di atas meja di tengah ruang kelas. Tresa berjalan memperhatikan murid yang tengah melukis, memperhatikan setiap lukisan mereka. Tresa berhenti di belakang gadis pendiam tadi, bisa dibilang lukisan dia yang paling sempurna di antara teman-temannya. Mungkin karena itu dia dijauhi.
Gadis yang sedari tadi di perhatikan Tresa tiba-tiba terjatuh, membuat semua mata tertuju padanya. Tresa langsung berjongkok, dia mengguncangkan tubuh gadis itu, kelas seketika menjadi bising. Gadis itu terlihat kesulitan bernapas, ia meremas dadanya hingga seragamnya menjadi kusut. Tresa mengangkat tubuh gadis itu, membuatnya setengah duduk, berharap gadis itu tak kesulitan bernapas. Tresa meminta seorang murid untuk meminta bantuan, napas anak itu semakin memberat, dengan satu tarikan napas, tubuh gadis itu terkulai lemas, matanya terpejam. Tresa dengan panik langsung mengarahkan tangannya menuju hidung gadis itu, tidak ada udara yang dia rasakan, dia beralih menyentuh leher gadis itu dengan kedua jarinya, berharap menemukan detak di sana, tapi kenyataannya detak itu tak ia rasakan. Tresa menutup mulutnya, menggeleng pelan. Membaringkan tubuh gadis itu ke lantai, beberapa siswa menatap dengan cemas, salah seorang murid ikut memeriksa keadaan gadis itu, dia berdiri dengan terkejut.
"Dia mati!" Seketika murid terlihat ketakutan.
Berita kematian gadis itu langsung menyebar dengan cepat, pihak sekolah menutup akses keluar masuk gedung. Semua anak yang tadi mengikuti kelas seni dikumpulkan untuk dimintai keterangan. Brian, Morgan dan Mute sampai di sekolah, Morgan dan Mute bertugas mengintrogasi para siswa sedangkan Brian bertugas mencari bukti dari rekaman cctv.
Brian tampak fokus melihat cctv yang memperlihatkan beberapa siswa yang melewati koridor.
"Berhenti!" perintah Brian, dia meminta petugas penjaga keamanan untuk menghentikan cctv, memintanya untuk memperbesar gambar. Seketika Brian menatap marah melihat begitu melihat seseorang yang tertangkap kamera, beberapa jam sebelum kelas dimulai. Brian bergegas menuju ruang seni, melihat Morgan dan Mute yang masih mengintrogasi para siswa. Brian berjalan dengan terburu-buru, meraih kedua tangan Tresa kemudian memborgolnya, tindakannya tak luput dari perhatian para siswa yang ada di sana.
"Brian, apa yang kamu lakukan?" tanya Tresa, dia merasa dirinya tidak melakukan kejahatan.
"Diam! Lebih baik kau simpan kata-katamu untuk nanti," jawab Brian. Dia membawa Tresa keluar, membawanya menuju kantor polisi.
Morgan menatap Mute dengan tatapan bertanya, yang hanya di balas senyum simpul olehnya. Morgan hanya menggelengkan kepala, dia kemudian meminta para siswa tadi untuk bubar dan tidak memberitahukan kasus ini sebelum media memberitakan. Setelahnya mereka berdua pergi menyusul Brian yang membawa Tresa.
🌿🌿🌿
Tresa duduk dengan takut, ruangan yang sempit bahkan tidak ada jendela sama sekali, tangannya masih terborgol, kursi yang tak bisa membuatnya berdiri. Hanya ada kursi yang didudukinya, meja besar dengan dua kursi tempat para polisi mengintrogasi tersangka. ruangan dengan cahata lampu 60 watt yang rasanya seperti piasau dingin menusuk mataku. Bau disinfektan yang setengah jam lalu baru disemprotkan membuat udara terasa seperti ditusuk jarum.
Tak lama dari itu, Brian dan Morgan datang ke dalam ruang interogasi, wajah Brian tampak menahan amarah. Morgan duduk dengan santai, berbeda dengan Brian yang tampak tak tenang.
"Katakan, apa yang kau lakukan seharian ini?"
"Brian, apa salahku? Kenapa kau menangkap ku, aku tak melakukan kesalahan," jawaban Tresa malah membuat Brian jengah mendengarnya.
"Dengar, berhenti berbicara omong kosong, jawab saja pertanyaaku,"
"Baik, seharian ini aku berada di rumah, hanya keluar untuk membeli sarapan, lalu aku berangkat menuju sekolah pukul 10.45 dan sampai di sana 15 menit kemudian. Setelah itu aku pergi ke ruang guru, lalu masuk ke kelas lima menit sebelum berbunyi,"
Brian mengambil berkas yang tadi dia bawa, memberikan berkas itu ke Tresa. "Bisa kau jelaskan maksudnya?"
Tresa melihat ke rah berkas yang diberikan Brian, melihatnya dengan teliti, selembar foto buram di sana membuatnya mental tak percaya, ini bukan dirinya, tapi memang terlihat seperti dirinya, Tresa tidak menangkal hal itu.
"Ini bukan aku," bela Tresa berharap Brian percaya.
"Kau pikir aku kan percaya? Bukti sudah ada di depan mata, apalagi yang harus aku ragukan?"
"Tidak, Brian, ini memang bukan aku, apa yang kukatakan semua benar. Aku tidak berbohong,"
Tresa terus membantah, berkata bahwa dia tak melakukannya, Brian tak percaya dengan ucapan Tresa apalagi bukti di tangannya membuat Tresa akan sangat mustahil bisa membuat Brian percaya.
"Sudahlah, kau akan ditahan disini sampai ada keputusan yang tepat."
"Tidak, Brian, tunggu! Kumohon, percayalah padaku, Brian!" Tresa terus memohon pada Brian yang terlihat meninggalkan ruang interogasi.
Sebelum Morgan meninggalkan Tresa, ia mendekat dan membisikkan sesuatu, "Ini akibat jika kau berani bermain dengan wanitaku."
Tresa mental Morgan dengan penuh amarah, dua orang petugas kemudian datang dan membawa Tresa keluar, saat melewati Morgan Tresa memakinya.
"Kau! Bajingan. Iblis, lihat saja aku akan membalasmu,"
"Diam, ikut kami."
Tresa dibawa petugas itu ke penjara, memasukkan Tresa ke dalam sel yang berisi 4 orang wanita yang menghuni sel tersebut. Tresa terjatuh akibat dorongan dari petugas itu, dia bangkit berdiri dan menggoyangkan pintu sel, berteriak meminta para penjaga untuk membukakan pintu.
"Berisik sekali kau!"
Tresa menatap takut ke belakang, dimana ke empat orang lainnya menatap tak suka ke arahnya. Tresa berdiri dengan takut, bahkan tubuhnya terlihat gemetar.
🌿TBC🌿
Day 14
KAMU SEDANG MEMBACA
MISSING [END]
Mystery / ThrillerMorgan, detektif spesial percikan darah di Kepolisian Utara, adalah seorang pria yang tampan dan karismatik. Namun, tidak ada yang tahu bahwa ia adalah seorang pembunuh yang gila. Kali ini Morgan dihadapkan dengan kasus pembunuhan berantai yang ter...