Sereia Rion yakin hidupnya sudah berakhir.Tangan dengan jari-jari panjang lentik menyengkeram lehernya seiring tetes demi tetes air asin menguap dari tubuh. Langit memekat tanpa cahaya, seakan berniat membutakan mata biru Rion untuk selamanya. Atau kaumnya sengaja membawa Rion ke permukaan saat malam hari agar si Siren kecil yang tak berdaya, sulit untuk mengenali di mana mereka berada. Permukaan adalah bagian mimpi buruk bagi Siren dan Rion yakin itu yang ingin dipersembahkan untuknya. Mimpi buruk dan trauma.
Suara debur ombak mengamuk dan gelegar guntur menyambar-nyambar rungu. Alam memberikan peringatan, memberikan cemooh kebencian. Sorak sorai kaum Siren yang memiliki kekuatan khusus dan bertugas sebagai pengawal Ratu, duduk pada tepi-tepi pulau karang sementara ujung ekor-ekor indahnya masih tercelup dalam air.
"Jangan menyalahkan kami, Rion. Ini adalah dosa ibumu yang harus kau tanggung seorang diri."
"Benar! Gara-gara Leora!"
Siren-Siren lain turut membenarkan.
Rion memegang tangan putih Mevira dengan kerlip-kerlip bubuk mutiara yang menutupi seluruh tubuhnya. "Tolong ampuni aku," isak Rion lemah, selemah harapan Siren cilik pada penghakiman kaumnya sendiri. "Aku yakin Ibu tidak bersalah. Ibu tidak mungkin—"
Suara Rion terputus saat cengkeraman itu semakin erat menekan pita suaranya.
"Dia penyebab kehancuran kita!" Mevira berteriak, matanya yang berwarna hijau terang berkilat-kilat penuh amarah. "Leora bahkan melarikan diri, meninggalkan putrinya yang lemah dan tidak berguna di sini sebagai bukti."
Kata-kata itu menusuk Rion, tetapi kurang tajam dibandingkan fakta bahwa ibunya memilih pergi tanpa memberikan penjelasan sama sekali. Meskipun begitu, Siren yang baru tujuh tahun mengenal dunia, tetap tidak berdaya dihadapan murka kaumnya sendiri.
"I—ibu pasti memiliki alasannya." Suara Rion yang lemah dan kecil, terdengar seperti cicitan tak berarti. "Ibu tidak mungkin—"
"Leora menjual informasi tentang kaumnya demi cinta, Rion. Demi seorang manusia tamak, angkuh dan serakah. Apa kau tahu sebanyak apa Siren muda yang ditangkap, dijadikan budak, barang pameran bahkan dimanfaatkan kekuatannya oleh mereka-mereka yang berhasil menemukan kita?"
Rion yang polos dan lugu itu masih berpegang teguh pada keyakinannya. "Kalau Ratu melepaskanku, aku akan bertanya pada Ibu tentang semuanya."
"Memangnya apa yang bisa kau lakukan?"
"A—aku akan mencari Ibu."
"Rion, Leora sudah pergi berminggu-minggu dan tidak kembali."
Rion menepis kenyataan pahit itu kuat-kuat. "Mungkin Ibu sedang diculik, Ratu. Aku akan pergi menyelamatkannya dulu."
Sebuah cicitan naif Siren kecil yang tidak berarti.
Mevira malah tertawa, tawa yang menandakan seberapa mustahil permintaan Rion untuk dituruti. "Kau tidak akan bisa bertanya karena Ibumu sudah musnah, Rion," jedanya hingga sang lawan bicara berjengit dalam tangannya. "Karena aku yakin, pria yang dia perjuangkan sudah membunuhnya demi informasi yang berharga."
Kalimat demi kalimat menggores batin Rion hingga rasa sakitnya menganga lebar. Ketakutannya semakin bertumpuk-tumpuk saat Mevira menarik sudut bibirnya tipis. Awan yang tadinya berkumpul geram di atas mereka perlahan menyingkir, memberikan cela bagi bulan untuk menerangi tepi laut dan Siren-Siren rupawan di bawah cahayanya.
Dari sanalah, Rion masih bisa melihat Siren lain berenang mendekat ke arah Mevira dan bertanya. "Bulan sudah muncul, lebih baik kita selesaikan sekarang sebelum ada kapal manusia yang melintas."
"Kau benar, kita tidak bisa membuang waktu. Laut bisa tercemar oleh anak penghianat."
Ujung-ujung mahkota Mevira dari emas dan berlian laut berkilat-kilat seiring sang Ratu Siren menutup mata. Cahaya berwarna biru tipis mulai berkumpul menyelimuti seluruh tubuhnya hingga rambutnya yang keperakan melayang sehelai demi sehelai di udara. Itu adalah sebuah keindahan mutlak. Kekuatan Ratu Siren yang membuat semua yang melihat terkagum-kagum, sementara siapa pun yang menjadi sasarannya pantas tidak berdaya.
Suara nyanyian Siren terdengar. Berasal dari pengawal-pengawal Mevira. Memikat dan mematikan. Melodi Siren yang mampu menjadi penghasut, pemabuk, membuat manusia gila.
"Ra—Ratu Mevira, maafkan aku."
Saat Mevira membuka matanya, Rion merasakan tubuhnya bergidik ngeri. Dulu Rion selalu kagum, bahwa mata sang Ratu adalah batu permata terindah yang pernah ada. Senyumannya sehangat cahaya matahari pertama yang menembus lapisan terakhir kedalaman laut. Tidak pernah ada yang mengatakan bahwa tatapan Mevira sebegitu mencekam. Rion bisa merasakan pembuluh darahnya bergerak cepat, panas dan mendidih. Siren kecil mulai memberontak percuma, tangisannya pecah seiring rasa sakit mulai menusuk-nusuk ekornya.
"Kau bukan bagian dari kami lagi, begitu juga dengan kami yang bukan bagian dari dirimu, Sereia Rion." Suara Mevira menggema di dalam kepala Rion. "Laut tidak akan pernah menerimamu. Kalau-kalau kau berani kembali, dasar samudra yang gelap dan sunyi akan menelan lalu menjadi peristirahatan terakhirmu."
Sirip Siren-Siren pengawal mengepak penuh suka cita setelah tahu kecemasan masal akan berakhir. Mengejek Rion terang-terangan di tengah rasa sakit luar biasa hebat saat sirip sewarna safir miliknya terbakar perlahan, lalu menyisakan dua kaki manusia yang lemah dan lunglai.
"Ratu Mevira!"
Salah satu pengawal Siren berseru, dan Mevira menoleh ke arah yang dimaksudkan. Cahaya lampu kecil bergerak cepat dari arah utara.
"Semuanya, kembali!" Mevira memerintah perwira dan Siren-Siren yang duduk pada terumbu karang mulai berloncatan untuk kembali ke dalam laut. Rion turut menoleh seiring kekuatan Mevira pada lehernya melemah.Sebuah kapal manusia.
"Manusia benar-benar merepotkan! Kenapa mereka harus pergi ke laut saat gelap?!" Mevira mengerang muak.
"Ratu, kita sudahi saja."
Tapi Mevira terlihat berat untuk melepaskan Rion.
Pengawal Mevira yang melihat sang Ratu masih terdiam, kembali mendekat cemas. "Kita harus pergi sekarang, Ratu. Saya mohon."
Mevira mengumpat kesal lantaran penghakimannya belum sempurna. Mevira melepaskan Rion dengan terpaksa. Mevira dan perwiranya menyelam dengan cepat dan tenang untuk ditelan ke dalam kemegahan samudra.
Sementara Rion yang hanya menggenggam separuh kesadarannya, menggerakkan tungkai geraknya yang baru. Sepasang kaki yang terasa asing, tidak biasa, kikuk, lemah dan menyakitkan untuk disadari. Identitas Rion telah dilucuti dari dirinya. Tidak ada lagi kulit yang dibubuhi serbuk mutiara, tidak ada lagi sirip indah yang dapat dihias dengan cangkang-cangkang kerang. Yang masih tersisa hanya putih keperakan dan pupil biru safir yang lemah dan nyaris kosong.
Lalu setelahnya, Rion hanya melihat tegasnya cahaya disorotkan ke arahnya. Rion mendengar suara deru asing, dan suara manusia-manusia berteriak ke arahnya kemudian.
"Ada anak kecil di tengah laut!"
Suara langkah kaki berderap ke pinggir anjungan kapal sebelum berteriak kembali. "Sulli berikan pelampungnya padaku!"
Rion menggumam tipis tentang ibunya, tentang ia yang ditinggalkan, tentang kaumnya, tentang ia yang dibuang, tentang kesedihannya dan tentang dinginnya air laut yang tidak lagi ramah pada permukaan kulit. Tanpa Rion ketahui, kehidupan yang telah ia anggap berakhir, tiba-tiba datang untuk menawarkan kesempatan kedua. []
KAMU SEDANG MEMBACA
From The Crimson Eyes To The Ocean Tears
FantasySetelah dibuang oleh kaumnya sendiri lalu diselamatkan oleh pasangan suami istri di tengah laut, Sereia Rion si siren cilik mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan hidup. Besar di Lumena dengan kasih sayang Paman dan Bibi angkat adalah kebahagiaan...