Pulau Jawa merupakan suatu pulau yang seolah sejarahnya masih terbungkus rapi dalam selimut misteri. Adat dan asal-usul yang dituturkan secara turun temurun pun dirasa masih kurang cukup bagi para penikmat sejarah. Mitos dan legenda yang ada pun bukannya semakin surut, tapi makin berkembang selama perjalanan tahun.
Keluarga Moriarty, keluarga priyayi Inggris yang baru saja tiba di Tanah Jawa pada abad 21 karena surat wasiat yang orang tua mereka tinggalkan. Kembali ke tempat dimana nenek moyangnya pernah menetap untuk menjajah, namun kini mereka menetap untuk membantu masyarakat lokal.
Albert James Moriarty, anak sulung dalam keluarga ini akan melanjutkan bisnis kebun teh dan tembakau di suatu daerah di Kota Yogyakarta. Sejak awal ia sudah menjadi pungusaha muda yang sukses bahkan sebelum ia tiba di Tanah Jawa. Perkebunan seluas 10 hektare akan ia kelola dibantu oleh adik bungsunya, Louis James Moriarty.
Berbeda dengan adik panengah (anak kedua), Wiliam James Moriarty, yang justru menjadi Profesor Matematika di Universitas Gadjah Mada. Pemuda berusia 24 tahun dengan daya intelektual yang luar biasa, menjadi profesor muda yang ilmunya begitu banyak diincar universitas-universitas terbaik di dunia.
Keluarga Moriarty tidak datang sendiri, mereka datang dengan beberapa orang kepercayaan mereka. Sebastian Moran, pria 198cm itu akan menjadi orang yang akan sering menemani Wiliam terutama mengantar jemput. Karena jarak rumah atau villa yang mereka tinggali menuju Kampus UGM masih berjarak satu setengah jam perjalanan sehingga Moran akan sangat dibutuhkan untuk mengantar jemput Wiliam, lagipula ia mau bekerja hanya dari Wiliam dan untuk Wiliam. Fred Porlock, pemuda berusia 19 tahun ini memiliki ketertarikan dan ilmu mengenai tanaman baik tanaman yang di konsumsi ataupun tanaman hias. Kemampuannya begitu diandalkan oleh Albert dan diberi kepercayaan untuk merawat seluruh tanaman di rumah mapun mengurus kualitas teh diperkebunan mereka. James Bond, seorang informan yang begitu diandalkan Keluarga Moriarty. Dia merupakan orang yang sangat komunikatif, dia begitu diandalkan Louis untuk mencari informasi-informasi atau desas desus yang beredar disekitar mereka. dengan pesona yang ia punya, tentu orang akan terpikat.
"Sampai juga, ya?" Ujar Bond sembari merentangkan kedua tangannya keatas.
Netra scarlet Louis mengedar ke sekeliling mereka. "Jadi ini pesanggrahan nenek moyang kita turun temurun?"
"Ya." Jawab Albert. "Pesanggrahan ini sudah ada sejak tahun 1813. Nenek moyang kita dulu menikahi seorang penguasa di desa ini."
"Jadi maksud Kakak, kita masih memiliki darah Indonesia sini?" Tanya Wiliam.
"Entahlah, yang kutahu Kakek Nenek Buyut berdarah murni Inggris, mungkin leluhur kita yang jauh diatas itu?"
"Albert, kau bilang akan mengelola kebun tembakau, kan? Setidaknya beri aku sedikit setiap hari untuk merokok." Ujar seorang Moran sembari bersandar di body mobil. "Aku penasaran dengan kualitas tembakau lokal sini."
"Selain tembakau apalagi yang kau minta? Gadis desa yang masih perawan?" Tanya Louis dengan ketus.
"Sudahlah, mau sampai kapan kita akan berdebat diluar begini? Lebih baik kita masuk dan mulai berberes. Kita tak punya seseorang untuk membantu kita beres-beres rumah, kan? Lebih baik kerjakan sekarang jadi setidaknya kita bisa istirahat saat menjelang sore nanti." Ujar Wiliam.
Semua menyebar dan melakukan tugas mereka masing-masing, dimulai dari membuka semua penutup furnitur rumah lalu menyapu dan menyedot debu, mengepel dan membersihkan seluruh sela-sela jendela. Albert memilih kamar diatas lantai dua berdampingan dengan ruang kerja yang terhubung dengan connecting door. Wiliam memilih sekamar dengan Louis, dia paham hanya akan kembali rumah ini setidaknya seminggu sekali. Bond memilik kamar bawah dekat dengan tangga yang kebetulan dekat dengan toilet sedangkan Fred memilih kamar yang seharusnya dipakai ART di belakang dekat dapur karena dekat dengan akses ke kebun belakang rumah yang akan ia garap besok pagi. Moran memilih tidur dimana saja karena akan ikut dengan Wiliam kemanapun Wiliam pergi, ibarat ia tidur di kolong jembatan pun tidak masalah baginya.
Hari sudah mendekati akhir, Fred dan Louis sudah mulai berkutat dengan makanan di dapur sedangkan yang lain sedang beristirahat sembari bergantian mandi hingga pintu rumah mereka terketuk.
Louis menoleh. "Sepertinya ada tamu. Fred, kutinggal dulu sebentar."
Louis melangkahkan kaki, mencoba untuk mengintip tamu dari lubang pintu sejenak. Nampak dua orang anak muda laki-laki dan perempuan yang tengah berdiri disana. Louis membuka pintu.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Si Anak perempuan mengangguk sedikit. "Mohon maaf menganggu waktunya sebentar. Perkenalkan saya Daneswara Pramodyawardani, saya Ketua Umum BEM Universitas Gadjah Mada dan ini Bimasena Wijaya Sahadewa, Ketua BEM Fakultas MIPA datang sesuai dengan–"
Belum sampai Danes menyelesaikan kalimatnya, Wiliam muncul dari belakang Louis.
"Louis? Apa ada tamu?"
Louis menoleh. "Ada tamu yang datang dari Universitas tempat kakak mengajar."
"Oh, suruh masuk saja. Mereka ada urusan denganku mewakili Rektor kampus."
Mendengarkan apa kata kakaknya Louis mengangguk. Louis mempersilahkan mereka masuk dan duduk sebentar sembari ia akan membuatkan minum untuk tamunya. Indera penciuman Louis yang tajam itu mencium aroma yang membuatnya tersentak kaget.
"Astaga, apa Fred kelupaan mengangkat kentang rebusnya?" gumamnya.
Wiliam yang menerima tamunya itu pun turut duduk, netranya menyadari sesuatu. "Apa kalian ini anak kembar?"
Sena tersentak. "Ah! Kami memang kembar tapi tidak identik."
"Apa kalian satu fakultas?"
"Tidak, Prof. Saya di FISIP jurusan Hubungan Internasional semester 5."
Obrolan demi obrolan mereka lancarkan sesuai dengan janji yang dibuat. Danes dan Sena hadir sesuai dengan perintah atau permintaan rektorat guna membahas kapan Wiliam mulai masuk kerja dan hadir untuk menandatangani surat perjanjian kerja.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, sudah saatnya kedua anak kembar ini pulang ke Kota karena besok masih ada kelas yang akan mereka hadiri. Louis sempat menawarkan mereka untuk makan malam terlebih dahulu, namun Danes menolak dengan halus dan tegas bahwasannya mereka harus segera pulang.
Sena memutar mobilnya terlebih dahulu meninggalkan Danes yang masih termangu di halaman depan sembari menatap salah satu pohon besar di samping halaman sebelum Sena memanggilnya denga bunyi klakson.
"Nes, kok diem aja?" Tanya Sena sembari memperhatikan jalanan desa malam itu. "Kenapa pula tadi tawaran makannya ditolak?"
"Lebih baik kita buru-buru balik, udah malem juga."
"Nes, aku yakin pasti ada hal yang lain, to?"
Danes menatap Sena yang menyetir disebelahnya. "Kamu gak ngerasain apa-apa?"
"Jujur ya, aku ngerasain sesuatu..." Jawab Sena terpotong. "Laper."
"Kamu gak nyium bau-bau gitu?"
"Bau apaan?"
"Kentang rebus sama anyir."
"Hah? Emang ada apaan dah? Kamu lihat apaan tadi disana?" Ujar Sena menatap Danes sesaat mereka berhenti di lampu merah.
"Kalo bisa kita jangan balik kerumah itu lagi." Danes menatap Sena dengan serius.
"Itu rumah ada yang gak beres."
–TO BE CONTINUED–
KAMU SEDANG MEMBACA
"SEWIDAK"
Short StoryIni hanyalah sepenggal kisah Keluarga Moriarty yang penuh dengan misteri di Tanah Jawa, ketika rasa percaya dan tidak percaya bersatu padu dalam benak mereka. ⚠️ NOTE ⚠️ CERITA INI MERUPAKAN SEBUAH IDE DARI FILM KKN DI DESA PENARI YANG AUTHOR GUBAH...