Bab 14 Dilema

7 1 0
                                    

....
“Bukan tidak mau, tapi ini sudah takdir, Non,” jawab Linex pelan. “Non juga sudah pernah dikasih tahu kalau kita tidak akan selalu bisa bersama, Non.”

Tidak ada jawaban dari Nuy, hanya suara isak tangis yang tertahan. Nuy memeluk kaki Linex dengan erat, tetapi bayang wajah Ryu berlumur darah terus berputar di benaknya. Juga sosok misterius yang menutup wajahnya, membuat banyak tanya berbaris menuntut jawab. Siapa dia? Kenapa hanya Ryu yang dibawa oleh mereka?

**

Sejak terpisah dengan Ryu yang tiba-tiba dan tanpa pamit telah membuat Nuy kehilangan semangat. Tidak ada lagi senyum yeng terukir di bibirnya. Tidak ada lagi binar bahagia saat mendapatkan binatang buruan. Dia hanya duduk termenung dengan tatapan kosong. Dia pun tidak menggunakan panah untuk berburu hanya mencari buah-buahan seadanya.

Nuy merasa kehilangan orang yang selama ini selalu menemani dan memberikan perhatian padanya. Nuy menyadari jika kehadiran sosok pemuda itu telah mampu mengisi ruang hampa dalam hatinya. Namun, semua sudah terlambat Ryu telah pergi dan kini tidak tahu ada di mana.

Gadis itu terus melangkah menyusuri jalan berbatu yang diselimuti lumut. Dia pun tidak peduli ada burung besar yang terbang di atasnya. Pandangan Nuy tertumbuk pada sebuah rumah kecil sederhana, melihat hal itu Nuy segera mengambil jalan yang terlihat belum dilewati oleh orang lain. Dia tidak ingin bertemu dengan sekelompok orang-orang yang sakit itu. Dia ingin sendiri dengan rasa sesal yang tidak kunjung usai meski sudah berjalan jauh dan melelahkan.

“Non,” sapa Linex saat Nuy beristirahat di tempat yang agak luas.

“Bicaralah. Jangan terus diam seperti ini,” pinta burung berparuh kokoh itu lagi.

Burung besar itu berdiri di dekat Nuy yang hanya memandangnya sekilas dengan mata mengembun.

“Apa karena Ryu?”

Nuy menoleh lalu kembali menekuri tanah basah di bawah tempat duduknya.

“Non, mungkin saya tidak bisa memberikan solusi, tetapi beban di hati dan pikiran Non akan berkurang. Jadi, bicaralah,” pinta Linex lagi sembari menggosokan kepalanya di bahu Nuy.

“Paman.” Suara Nuy yang memecah keheningan membuat Linex menatap wajah gadis itu dengan lekat.

“Ryu pergi. Dia dibawa dengan paksa oleh orang-orang sakit itu,” kata Nuy mulai bercerita dengan pandangan menerawang.

“Paman, tapi ada seseorang yang terlihat sedikit aneh. Dia seperti ketua di kelompok itu,” lanjutnya lagi.

“Apakah Non kenal dengan orang itu?”

“Nggak. Aku tidak begitu jelas melihat wajahnya yang ditutupi dengan kain,” jawab Nuy pelan.

Burung bersayap indah itu pun diam, setia menunggu Nuy untuk bercerita lebih lanjut. Namun, setelah ditunggu agak lama, Nuy malah sibuk menyusut air matanya yang jatuh menitik.

Linex tahu Nuy menaruh hati kepada sosok pemuda yang memberikan cintanya dengan sepenuh hati. Pemuda yang setia menunggu gadisnya mau membuka dan menerimanya sebagai orang yang menemaninya sepanjang usia. Linex percaya, jika Ryu melihat Nuy menangis, Ryu akan segera memeluk dan menghapus air mata itu dengan penuh kasih.

Burung berekor panjang itu mendekatkan wajahnya untuk melihat mata Nuy yang kehilangan binarnya.

“Non, suka sama Ryu?” tanya Linex membuat Nuy tergagap.

“A-aku ng-nggak suka sama Ryu, Paman.”

“Kenapa? Dia suka dan cinta sama Non, loh,” ujar Linex tenang.

Nuy menghela napas dan mengembuskannya perlahan, lalu bangkit dari duduknya.

“Kami adalah sahabat, Paman,” kata Nuy. “Kami bertiga sudah berjanji akan selalu menjadi sahabat untuk saling bantu, dan tidak boleh ada cinta atau rasa suka di antara kami.”

The Magic of Linex (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang