Namjoon rasa, ada yang aneh dengan musik yang keluar dari earphone-nya. Kenapa tiba-tiba ada efek suara bersin yang ikutan terdengar? Apa benda itu sudah rusak?
Perlahan Namjoon menarik jatuh sebelah earphone dari telinga. Kalimat yang tengah dirangkai oleh bolpoin kesayangannya di atas lembaran catatan kecil dibiarkan menggantung begitu saja. Lagi-lagi suara bersin itu menyambangi telinga. Malahan terdengar terlalu dekat. Didesak penasaran, sang laki-laki dengan rambut cokelat yang ditimpa topi baseball itu memutar kepalanya ke kiri.
Dipisahkan jarak membentang sejauh sepuluh langkah, Namjoon menemukannya. Pemilik suara bersin itu adalah seorang laki-laki asing, berdiri menghadap gerbang yang tertutup rapat bersama dengan buket baby breath besar yang tengah dipeluk erat.
Namjoon perhatikan, laki-laki itu punya bahu dan punggung yang lebar, namun dia terlihat menciut bila disandingkan dengan buket yang dipegangnya. Meski begitu, telunjuk tidak lurusnya konstan menekan bel berkali-kali. Tidak sabaran. Seolah dunia hendak berakhir beberapa detik kemudian.
Kedua lengan Namjoon saling terlipat angkuh di depan dada. Apakah semua orang yang jatuh cinta selalu seperti itu?
Bukan asal tebak. Apalagi memangnya? Laki-laki, buket bunga dan sebuah kejutan di depan pintu. Konklusinya laki-laki itu pasti akan berkencan dengan seseorang yang tinggal di rumah besar itu. Orang yang akan dikencaninya sangat menyukai baby breath, maka si lelaki membawakan satu buket besar tanpa peduli jika bunga-bunga itu membuatnya bersin terus menerus.
Lihat saja, Namjoon bersumpah akan mengatainya bodoh jika tebakannya benar.
Pada senja yang hampir terbenam itu, akhirnya Namjoon melepas sepasang earphone yang terus menyumpal telinga. Lantas menyimpannya di dalam saku mantel panjang sewarna awan mendung.
Kaki jenjang Namjoon sekonyong-konyong membawa tubuhnya mendekat. Tersisa jarak satu lengan saat jemari lentiknya langsung bergerak menepuk bahu lebar sang laki-laki dua kali. Tanpa waktu lama, tubuh terbungkus jaket hitam menoleh dan membalik badan.
Oh, apa ini?
Mendadak Namjoon lupa tujuan awal mendekati laki-laki itu.
Pasalnya, jika dilihat lebih dekat, paras elok sang laki-laki lebih dulu membuat motorik Namjoon kehilangan fungsi, meskipun penampilan sang laki-laki—bisa dikatakan—sedang kacau level tinggi. Kedua mata indahnya penuh air, sementara hidung bangir itu merah dan basah. Boleh tidak kalau Namjoon menyebut si laki-laki menggemask—
"Ada apa?" Laki-laki berambut hitam itu langsung bertanya. Menarik Namjoon dari dunia kontemplasi yang sempat menghampirinya.
Ah, benar. Namjoon kan mau memarahinya. Sejenak Namjoon berdeham, memasang wajah datarnya kembali. "Aku mau menuntutmu."
"Menuntutku?" Mata bulat cemerlang yang nampak sembab itu melebar dan sempat berkedip bingung. Rasanya Namjoon pernah melihat tatapan semacam itu ketika anak anjing tetangga mengajaknya bermain dengan frisbee kuning di mulutnya. Yap! Persis sekali. "Memangnya ... kesalahanku apa? Kita bahkan tidak pernah mengenal."
"Tentu saja ada. Aku seorang penulis pemula yang sedang mencoba membuat naskah sebisaku!" Namjoon menunjukkan catatan kecil dengan coretan tinta tidak karuan dari dasar saku mantelnya. "Suara bersinmu itu menggangguku sehingga aku tidak bisa menulis lagi!"
"Soal itu ... maaf ya, aku—"
"Memangnya kamu tidak sadar jika bunga jelek ini membuatmu alergi parah?" tuding Namjoon tidak ramah pada sekumpulan baby breath yang sedikit memberi jarak antara mereka.
"Mereka indah," balas laki-laki itu langsung. Sejemang kemudian, dia cepat-cepat membuang wajah agar tidak kelepasan menyemburkan sesuatu di pakaian Namjoon.
KAMU SEDANG MEMBACA
House Of Cards : The Wishful-filling Restaurant
Fiksi PenggemarTempat itu bernama House of Cards. Sebuah tempat yang dapat mengabulkan permintaan. Tapi juga membawa pergi harapan dari setiap tamu yang datang. - Namjin -