Mereka akhirnya jadi pergi malam itu. Berdua. Seokjin telah menunggu lama di halte bus ketika Namjoon muncul tanpa menepati janjinya. Laki-laki tinggi itu tidak datang bersama bus melainkan mengemudi sedan berwarna hitam mengkilap.
Seokjin merasa bodoh. Detik itu juga dia paham. Namjoon tinggal di komplek apartemen mewah yang tidak bisa dimiliki orang seperti Seokjin. Lantas, kenapa heran kalau Namjoon juga punya kendaraan pribadi?
Demi Tuhan! Rasanya malu sekali! Seokjin jadi ingin menyembunyikan diri di bawah tempat tidur.
"Maaf, kalau aku tidak datang dengan bus seperti permintaanmu awalnya. Soalnya, ada pengganggu." Namjoon menunjuk bangku belakang. Buket baby breath berukuran besar itu rupanya telah menemani Namjoon dan kini mengawasi mereka dengan tatapan tajam, seandainya dia punya sepasang mata. "Kalau kamu tetap merasa tidak nyaman, aku bisa melemparnya keluar dari mobilku."
"Ti-tidak perlu berlebihan begitu! Ayo kita pergi atau kita akan terlambat!"
Laki-laki yang betah menampilkan lubang di pipi itu melihat arloji di tangan kirinya sejenak. "Masih ada banyak waktu sebelum pertunjukan. Bagaimana kalau kita mampir ke suatu tempat dulu?"
"Ke mana?"
Namjoon enggan menjawab. Malah menanggapinya dengan senyum terlampau lebar hingga membuat kedua matanya hampir lenyap. Senyum yang tulus, sedikit jahil.
Baiklah, Seokjin tidak akan merajuk atau mengeluh. Dia percaya pada senyum itu, lebih-lebih pada Namjoon sendiri.
Senyap menyergap waktu-waktu setelahnya. Ada banyak jumlah lampu yang tak bisa Seokjin hitung, gedung-gedung tinggi yang nampak lain ketika malam, begitu pula mobilitas berbeda tiap orang dari jendela mobil. Seokjin menikmati itu semua, hingga mobil Namjoon berhenti lalu laki-laki dengan mantel panjang sewarna biji pinus itu mengajaknya turun.
Mereka berada di taman hiburan.
Seokjin tidak menyangka laki-laki itu akan membawanya ke sana. Bahkan Seokjin tidak pernah memikirkannya, kalaupun terbesit, mungkin tempat itu berada di daftar yang terakhir. "Kenapa kemari? Apa tempat ini membuatmu ingat sesuatu?"
"Tidak. Aku cuma penasaran. Banyak yang bilang tempat ini dicap romantis untuk berkencan ala pasangan di dalam drama televisi."
"Kalau begitu, ingin ada tangan lain yang menggandeng lenganmu?" Sewaktu sepasang alis rapi seperti semut hitam yang berbaris milik Namjoon itu bergerak naik karena kebingungan, Seokjin tersenyum genit. Kedua lengannya langsung melingkari lengan panjang penuh otot milik laki-laki tinggi di sebelahnya. "Tidak ada orang dewasa yang datang sendirian ke taman hiburan!"
Jadi, mereka bertautan lengan menilik beberapa sudut taman hiburan.
"Ingin naik wahana apa?" tanya Namjoon. Kepalanya mendongak. Ada bianglala warna-warni yang berputar pelan mengambil atensinya.
"Dulu aku sering naik carousel bersama ibuku." Seokjin menunjuk komedi putar yang bergerak di depan mereka. Hanya ada beberapa anak-anak yang begitu riang dan tertawa lepas menaiki wahana itu. "Tapi, aku tidak ingin naik!"
"Kenapa? Karena ada anak-anak itu?" Fokus Namjoon tertuju pada anak kecil di atas komedi putar, tanpa ada orang dewasa. Logisnya, anak-anak itu pasti akan menggoda Seokjin apabila ikut naik.
"Bukan," tanggap Seokjin yang punya esensi serupa. "Kalau kamu terbuai euforia di taman bermain, kamu akan lupa pada waktu. Lebih baik kita berburu makanan yang dijual di sini!"
Mendengarnya, Namjoon tergelak kecil. "Oh, jadi itu alasan kenapa pipimu mirip dengan roti?"
Seokjin melipat bibir bawahnya keluar. Memangnya keinginannya itu terlalu berlebihan ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
House Of Cards : The Wishful-filling Restaurant
Fiksi PenggemarTempat itu bernama House of Cards. Sebuah tempat yang dapat mengabulkan permintaan. Tapi juga membawa pergi harapan dari setiap tamu yang datang. - Namjin -