3. Air mata Najla

862 144 6
                                    

Ragan mengirim video tentang permohonan maaf Omar yang ditolak oleh Najla melalui pesan WhatsApp.

Omar : Hapus videonya. Video kyk gini gk layak dilihat Abi!

Ragan : Baik, Pak.

Pintu kamar Omar diketuk ketika ia tengah rebahan santai di kasur. Tak berapa lama, Umi masuk ke dalam kamarnya.

"Mar, makan siang dulu, yuk." Umi berjalan mendekat.

"Nggak laper." Omar masih bete harus bertemu dengan Abi.

"Ayolah, Nak. Nanti kamu sakit." Umi mengusap kaki Omar, dan memijit tumit kaki Omar pelan.

"Nggak, Mi. Aku nggak mau."

"Nanti Abi marah, loh. Kamu sendiri tahu kan, Abi paling nggak suka kalau kita nggak makan bersama di meja makan."

Omar nggak bisa menolak. Daripada nanti hukumannya semakin bertambah, lebih baik Omar menuruti.

Omar dan Umi akhirnya bergabung di meja makan bersama Abi dan Najla.

Najla?

Omar menatap perempuan yang terlihat sedang asyik makan seolah ini adalah rumahnya sendiri.

"Bagaimana kabar Jihan, Mar. Bukankah dia sudah kembali ke Indonesia?" Abi melontarkan pertanyaan di sela makan siang mereka. Mengingat Abi dan orangtua Jihan sudah lama berteman akrab.

"Sudah, Bi. Kabarnya baik." Omar menjawab tanpa semangat.

"Abi lihat wawancara kalian di televisi kemarin. Kalau dilihat dari raut wajahnya, sepertinya Jihan sudah punya pacar."

Bukan cuma pacar, Bi. Tapi dia udah dilamar.
Omar ingin menjawab ini dengan kencang. Ah, tapi sudahlah. Nggak penting.

"Nggak tahu." Omar menjawab singkat.

"Nah, kalau kamu gimana, Mar?" Tanya Abi lagi.

"Gimana apanya, Bi?"

"Usia kamu sudah matang, sudah tiga puluh satu tahun. Sudah saatnya kamu menikah dan memiliki keturunan."

Seketika Omar tersedak makanannya.

"Jangan ngomong tentang pernikahan lah, Bi. Aku masih belum ingin mengarah ke sana. Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan dulu."

"Jangan terlalu mikirin pekerjaan terus, Mar. Umi dan Abi juga menginginkan cucu dari kamu." Tatapan Umi penuh harap.

"Abi dan Umi kan, sudah punya cucu. Anaknya Kak Farah."

Kak Farah adalah kakak perempuan pertama Omar. Mereka dua bersaudara. Dan Omar anak paling bontot.

"Tapi, Umi juga kepengin cucu dari kamu, Mar," kata Umi lagi. "Karena kamu anak lelaki satu-satunya yang akan mewariskan perusahaan Abi."

"Dulu, Abi menikah usia dua puluh lima tahun. Semenjak menikah, perusahaan yang Abi kelola semakin jaya. Karena ada satu pintu rezeki dari hidup Abi yang terbuka. Lalu, ketika punya anak, pintu rezeki Abi yang lain terbuka lagi. Kamu paham maksud Abi, kan?" Abi meneguk segelas air. "Jangan takut pekerjaan kamu terbengkalai hanya karena menikah. Karena menikah adalah ibadah, maka Allah senantiasa akan membuka pintu rezeki untuk kamu dan keluarga kecil kamu nantinya."

Abi mengelap mulutnya dengan serbet, lalu menatap Najla. "Nak Najla, bagaimana dengan pekerjaan kamu? Apakah sudah dapat?"

Najla menunduk sambil menggelengkan kelalanya. "Belum, Bi. T-tapi, Najla akan balik ke Indramayu saja."

"Kenapa harus balik? Semenjak Ayah kamu meninggal, sawah dan rumah sudah dijual untuk menutupi hutang. Terus, kamu mau tinggal dengan siapa di sana, anakku?"

Bukan Imam ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang