#2

117 10 5
                                    

"Ya, aku sudah bertemu dengannya." Junho meletakkan kamera di atas meja, lalu menuang air ke dalam gelas dan meneguknya. "Tidak. Aku masih belum mengatakan siapa diriku." Kali ini ia berjalan mendekat tempat tidur dan langsung berbaring menyamping. Kepalanya terasa berat, dan ia sangat mengantuk. Sejak kemarin malam begitu mengetahui keberadaan wanita bernama Lee Seyoung, ia sama sekali belum tidur. "Lebih tepatnya, kesempatanku untuk memperkenalkan diri terampas dikesempatan pertama." Kedua tangannya bersedekap, membiarkan ponsel menempel di telinganya begitu saja. "Baiklah, besok aku akan ke Seoul untuk mengurus beberapa hal termasuk sponsor." Suaranya semakin melemah. "Hm... hm..."

"Sayang..." Yuna bergelayutan dengan manja mengikuti gerak Junho yang masih sibuk memasang lensa pada kamera miliknya.

"Hm..." Junho tahu ia harus fokus dengan kerjaannya saat ini. Tapi ia juga tidak mau menghabiskan waktu dan tenaga untuk meladeni kekasihnya jika sudah merajuk. Dan meminta Yuna untuk duduk tenang menunggu ia menyelesaikan segalanya sudah tentu akan membuat ia semakin kerepotan nanti.

"Bagaimana kalau kita tinggal bersama di apartmentku." Junho menghentikan aktifitasnya. "Kau tahukan, aku tak nyaman berada di apartmentmu. Waktu untuk kita berdua jadi tidak ada karena ada ibumu."

Junho menarik nafas dalam-dalam sebelum memutar tubuhnya, melepas pelukan Yuna. "Bukankah kita sudah pernah membicarakan hal ini?"

"Ya, tapi...." Yuna memasang wajah cemberut. "Aku ingin selalu bersamamu. Memangnya kau tidak mau begitu?"

"Tentu saja ingin, tapi_"

"Aku bukannya tidak menyukai ibumu, tapi keberadaanya membuat waktu kita bersama makin sedikit. Kau sudah sibuk dengan pekerjaanmu, lalu mengurus ibumu dan hanya tersisa sedikit buatku. Kau juga tahu bagaimana sibuknya aku." Yuna memeluk tubuh Junho, tapi Junho tak membalasnya. Ia terlalu lelah. Kepalanya berdenyut nyeri. "Bagaimana jika aku mengirim ibumu liburan? Ke Thailand, LA, atau Paris? Terserahlah, aku bersedia menanggung semua biayanya. Atau..." Yuna terdiam, wajahnya tampak ragu sesaat sebelum melanjutkan ucapanya, "ibumu bisa tinggal di panti. Aku tahu sebuah panti dengan fasilitas terbaik jadi ibumu akan mendapatkan perawatan sekaligus tidak kesepian karena akan banyak teman seusianya."

Junho memejamkan mata dan memijit pelipis. Awalnya ia berniat menyelesaikan pekerjaannya kali ini dan melamar kekasihnya itu. Ide tinggal bersama dengan Yuna bukannya tidak pernah ia pikirkan. Ia berpacaran dengan salah satu Model Top Korea itu bukan karena sebab, tapi ia sungguh mencintainya. Tapi belum lagi genap 2 tahun masa pacaran mereka, ia mulai mempertanyakan apakah Yuna juga mencintai dirinya apa adanya ataukah hanya karena mereka pernah satu project dan ia lumayan terkenal dibidangnya.

"Yuna, aku_" Perkataan Junho terputus. Tatapan matanya menabrak pada sosok wanita yang berdiri di depannya dengan raut wajah sendu. "Ibu!" Ia mendorong tubuh Yuna dan berniat mengejar sosok ibunya tetapi tertahan oleh cengkaraman erat Yuna.

"Junho-ssi... Jika kau meninggalkanku saat ini, maka aku juga akan meninggalkanmu." Yunho menatap wajah Yuna. Ada airmata tergenang dikedua matanya.

Junho terbangun dari tidur begitu merasakan silau matahari yang menyerbu masuk melalui kisi jendela. Ponsel yang tadinya bertengger di telinga, kini telah jatuh disisi tubuhnya. Ia meraih ponsel dan mematikan suara dering alarm. Untuk beberapa waktu ia hanya terdiam, tatapan matanya nyalang ke langit-langit kamar penginapan yang ia sewa sehari dekat sanatorium.

"Hah... sepertinya aku harus memperpanjang masa sewa." Ujar Junho pada dirinya sendiri sambil bangkit dari baring dan berjalan ke kamar mandi.

"Hyung... jam berapa meeting kita hari ini?" Tanya Junho sambil memakai earbuds wireless sementara ia membasuh wajahnya dengan air. "Kita langsung ketemuan di tempat, tidak perlu menjemputku." Dan langsung mematikan sambungan telpon begitu mendapat jawaban dari lawan bicara.

PHOTOGRAPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang