Losmen 86
“Aduh, dari mana ini airnya, semprul!” keluh Paijo, mengepel lantai lobi Losmen 86 yang basah kuyup.
“Ada apa, Jo?” tanya Abdul Latief, tampak gugup.
Paijo mendengus. “Nggak usah ditanya juga sudah tahu. Lantai baru saja ku pel, belum kering sudah ada tamu yang lewat, sekarang kotor lagi! Semua gara-gara kamu!”
“Loh, kok gara-gara aku?” tanya Abdul Latief bingung.
“Ya kamu! Lihat nggak sih air yang kamu buang tadi? Banjir begini! Gara-gara kamu!” Paijo menunjuk genangan air.
“Oh, iya, maaf, Jo,” Abdul Latief mengangguk menyesal.
Tiba-tiba, Afgan memanggil Abdul Latief.
“Dul!”
“Iya, Pak Afgan,” jawab Abdul Latief, buru-buru.
“Dul!” Paijo menahannya. “Mau ke mana? Airnya gimana ini?”
“Matikan krannya sendiri ya, Jo. Saya dipanggil Pak Afgan!” Abdul Latief berlari meninggalkan Paijo yang masih kebingungan.
Di kamar Windi…
“Lik Jo mana ya?” Windi cemberut. Susunya belum diantar.
“Sama, Susuku juga belum datang,” kata Dzaki.
“Kita cuma dapat cemilan,” tambah Windi.
“Entah kemana Lik Jo,” Dzaki dan Windi sama-sama bingung.
Di depan Losmen 86…
Paijo menghela napas, melihat genangan air yang masih tersisa. “Si Abdul Latief nggak tahu hukum karma kali ya? Mbah Kakungku bilang, membuang-buang air, lama-lama akan menyesal.”....
"Yuk, kita panggil bareng-bareng,” usul Dzaki.
“Joooooyaaaa!” teriak Dzaki, Winda, dan Windi serempak.
Paijo muncul, wajahnya panik. “Aduh, anak-anak manggil lagi. Airnya gimana ini? Keran utama saja yang saya matikan, daripada tambah pusing.”
…
“Kok Lik Jo nggak datang-datang sih?” Windi cemberut.
“Nggak nyaut juga,” Dzaki menambahkan.
“Panggil lagi yuk,” usul Windi.
“Joooooyaaaa!” teriakan mereka kembali menggema.
Paijo akhirnya muncul, tergesa-gesa. “Sabar dong, Nak! Ini Lik Jo datang!”
Paijo buru-buru mematikan keran utama. Mbah Sutarno dan para tamu Losmen 86 langsung protes karena air mati.
Afgan, setelah mendapat laporan dari karyawan, Mbah Sutarno, anak-anaknya, dan kakak iparnya, langsung mencari tahu penyebab air mati. Ia memeriksa keran di luar dan meminta Paijo dan Abdul Latief menyalakan keran utama kembali.
Di ruang kerja Afgan…
Afgan menggerutu, “Abdul Latief mana sih? Dipanggil dari tadi nggak datang-datang.”
Abdul Latief masuk, “Assalamu’alaikum, Pak Afgan. Bapak memanggil saya?”
“Wa’alaikumussalam. Ada yang ingin saya bicarakan,” jawab Afgan.
“Ada apa, Pak?”
“Saya minta tolong kamu menjemput istri saya di bandara besok. Jangan sampai telat!”
“Siap, Pak Afgan!”
Betta masuk, “Assalamu’alaikum, Pak Afgan, Mas Dul.”
“Wa’alaikumussalam,” jawab Afgan dan Abdul Latief.
“Pak, ada tamu yang mau nyuci kaos kaki di pinggir kolam renang, boleh?” tanya Betta.
“Nggak boleh! Nanti airnya kotor, terus kalau ada yang berenang lalu gatal-gatal gimana?” Afgan memperingatkan.
“Oh, ya sudah. Saya mau bilang ke tamu itu. Tapi…” Betta ragu.
“Tapi apa?” Abdul Latief bertanya.
“Kalau di tengah kolam renang, boleh, kan, Pak?” Betta bertanya polos.
Afgan dan Abdul Latief saling pandang, terkejut. Keduanya mengucap, “Eh… Ooooh…” dengan nada dan mimik wajah yang sama persis.....
“Permisi, Mbak, Mas,” sapa Paijo, muncul dengan nampan berisi susu dan cemilan.
“Akhirnya datang juga,” Dzaki berseru lega.
“Kemana saja, sih? Dipanggil dari tadi,” Windi masih kesal.
“Jangan dilaporkan ke Bu Afgan, ya,” Paijo memohon ketakutan. “Tadi saya lagi ngepel, gantiin OB yang sakit.”
“Susu saya mana?” tanya Windi.
“Susu saya juga!” Dzaki ikut bertanya.
“Cemilannya juga!” Windi menambahkan.
“Maaf, lupa. Sebentar, ya,” Paijo bergegas mengambil pesanan mereka.
“GPL, ya, Lik!” Dzaka mengingatkan.
“GPL? Apa itu?” Paijo bingung.
“Gak Pakai Lama!” Windi menjelaskan.
Paijo akhirnya mengerti dan segera kembali.
Di dapur…
Mbah Sutarno menggerutu, “Gelas kopiku kotor lagi. Cuci dulu, ah…”
Paijo melihat Mbah Sutarno. “Susu Mbak Windi, Mas Dzaki, dan cemilan sudah siap. Eh, Mbah Sutarno ngomel-ngomel sendiri?”
Betta memanggil Paijo. “Jo, ngana lia apa di sini?”
Paijo menjawab, “Iku loh, Mbah Sutarno, Mas Bett.”
“Mbah Sutarno ada apa? Jatuh kah?” Betta bertanya lagi.
“Mboten, Mas Bett.”
“Lalu kenapa ngana lia Mbah Sutarno macang itu?”
“Mbah Sutarno ngomel sendiri,” jawab Paijo.
“Oh, gitu,” Betta mengangguk.
Mbah Sutarno berteriak, “Airnya nggak mau keluar! Panggil Paijo!”
Paijo datang. Mbah Sutarno berkata dalam bahasa Jawa krama inggil, “Panjenengan kok sampun ngantos dipun merene wae ta jo, kan enggal kula panggil?”
Paijo menjawab, juga dalam bahasa Jawa krama inggil, “Saking wau kula sampun dipun pawon mbah…”
Mereka berbincang tentang air yang tidak keluar dari keran. Paijo berjanji untuk memeriksanya.
Di lobi…
Afgan memberi instruksi pada Asih, resepsionis, “Kalau ada tamu mau check in, bilang kamar penuh. Teman kakak ipar saya, Aldi, mau menginap di sini.”
“Iya, Pak Afgan,” Asih menjawab.
Pak Toyib datang mengomel, “Losmen apa ini? Nggak ada air! Mata saya perih!”
Afgan meminta maaf dan berjanji akan segera menyelesaikan masalah air tersebut.....
“Benar, Mbah, airnya mati,” kata Paijo.
Afgan memanggil, “Joya!”
“Iya, Pak Afgan,” jawab Paijo.
“Kok airnya mati?” Afgan bertanya, melihat Betta juga ada di sana.
“Saya juga nggak tahu, Pak,” Paijo menjawab.
“Jangan balik nanya saya!” Afgan kesal.
Betta pamit, “Saya mau kerja lagi, permisi.”
“Iya,” Afgan, Paijo, dan Mbah Sutarno menjawab serempak.
“Joya, nyalakan listrik pakai genset!” perintah Afgan.
“Baik, Pak,” Paijo menjawab.
Mbah Sutarno bertanya, “Panjenengan ngapain?”
Paijo menjawab, “Kula nembe golek korek, Mbah Sutarno.”
“Buat apa?” Afgan bertanya.
“Nyalain listrik, Pak. Kan Bapak suruh pakai genset,” Paijo menjelaskan.
“Pakai genset, Joya!” Mbah Sutarno dan Afgan serempak.
Paijo protes, “Nyalain listrik pakai genset? Pakai tangan, dong!”
Afgan dan Mbah Sutarno kesal.
Di ruang kerja Afgan…
Paijo melaporkan, “Genset sudah dinyalakan, Pak, tapi airnya tetap mati.”
Anak-anak Afgan bertanya, “Abi, airnya kok belum nyala?”
Winda mengeluh, “Susah mau ngapa-ngapain kalau nggak ada air.”
Mbah Sutarno dan Renaldi bertanya kapan airnya akan nyala.
Afgan hendak menelepon petugas PAM, tapi Paijo menghentikannya.
“Sudah ada di depan, Pak. Satpam itu,” kata Paijo.
Afgan, setelah berbicara dengan petugas PAM, menjelaskan bahwa masalahnya bukan dari kantor PAM.
Afgan berkata, “Tidak ada masalah di kantor PAM, berarti dari listriknya.”
Paijo setuju. Afgan melempar sepatu, tapi meleset.
Mbah Sutarno bertanya, “Kenapa kamu, Jo?”
Paijo menjawab, “Lemparannya meleset.”
Afgan semakin kesal, “Cari tahu kenapa airnya mati, Joya!”
“I…iya, Pak,” Paijo menjawab ketakutan.....
Di depan Losmen 86…
Afgan memeriksa keran utama. “Airnya mati. Berarti dari keran utama ini.”
Paijo muncul sambil membawa peralatan. “Ini pel saya.”
Afgan memanggil, “Joya! Nyalakan keran utamanya!”
“Iya, Pak,” jawab Paijo.
Afgan kesal, “Joya, jangan muter-muter! Saya bilang nyalakan keran utamanya!”
Paijo pura-pura tidak mendengar.
Afgan memanggil Abdul Latief, “Dul!”
“Inggih, Pak Afgan? Ada apa?” Abdul Latief bertanya.
Afgan meminta bantuan dalam bahasa Minang, “Ambo mintak tolong, tolong waang nyalakan keran utamanya, si Joya tuh indak ngerti, tolong ya dul…”
Abdul Latief menurut. Tiba-tiba, Afgan kejatuhan cipratan air dari selang.
Paijo terkejut, “Waduh!”
Abdul Latief juga kaget, “Haduh… pelmu kena aku!”
Paijo berkata, “Ada yang lebih kena dari kamu!” Ia menunjuk Afgan yang basah kuyup.
Abdul Latief panik, “Pak Afgan kejatuhan air juga!”
Afgan marah, “Abdul Latief!”
Paijo mengancam, “Gaji kamu dipotong, Dul!”
Abdul Latief memohon, “Jangan, Jo, jangan, Pak!”
Afgan berkata dalam bahasa Minang, “Ambo potong gaji waang!”
Paijo menyela, “Pak Afgan, gaji Abdul Latief yang dipotong, masukkan saja ke gaji saya!”
Afgan mengancam lagi, “Joya, ambo pindahkan gaji waang ke Paijo!”
Abdul Latief semakin ketakutan.
Akhirnya, masalah pompa air selesai. Air kembali mengalir. Para tamu berlarian keluar kamar karena kamar mereka banjir; mereka lupa menutup keran.

KAMU SEDANG MEMBACA
losmen 86
HumorMenceritakan seorang kakek yang berusia 86 tahun yang tinggal bersama cucunya dan cucunya memiliki usaha penginapan yang di berinama Losmen 86.