4

944 82 15
                                    

Drop komen ya, gaess. Biar saya tau berapa banyak yang nunggu cerita ini.

*

Bagi Aksel, kamera adalah kawannya yang berharga. Terdengar lebay untuk ukuran seorang lelaki anti melow-melow klub macam dirinya. Namun memang seperti itulah arti kamera untuknya. Di samping kamera docking (kamera studio) yang jelas merupakan 'alat tempur'nya kala meliput, Aksel juga memiliki kamera pribadi kesayangan. Jenis canon DSLR. Dan biasa dia gunakan untuk merekam momen apapun yang menurutnya menarik.

Para kru sudah mulai berdatangan ketika Aksel selesai mengecek lighting dan tripod untuk shooting pagi ini.

"Pagi, Sel."

"Pagi, Mbak Nas."

Mbak Nas, adalah presenter berita pagi yang sebentar lagi akan tayang. Mengisi slot pada pukul tujuh hingga setengah sembilan pagi. Studio lantai sebelas yang kini Aksel diami tidak pernah benar-benar sepi. Terlebih untuk para produser. Sebab deadline tayang tidak berhenti sekalipun para manusia tertidur pulas pada dini hari. Kontrol room, atau biasa mereka sebut Panel, telah menunjukkan kesibukan berarti. Mbak Nas telah siap pada spot acara. Dan Aksel telah bersiap di balik kamera.

"Sel, si Seno gak masuk. Ngedadak banget." Hilman menghampiri.

"Kenapa dia?"

"Cuma bilang lagi kena musibah. Belum ada balesan lagi. Ini yang megang jimmy jib cuma dia doang pagi ini."

Usai genap memastikan semua fungsi kameranya berjalan dengan baik, Aksel berpindah pada kamera di belakang. Jimmy jib, panjang crane-nya mencapai sembilan meter. "Gue yang pegang. Suruh Wanto handle prompter."

"Oke."

Dan shooting dimulai pagi itu.

**

"Damai banget hari ini." Satu cup kopi hitam panas tersodor di depan wajah Aksel. "Coba si bapak cungpret sering-sering ijinnya. Kan damai tentram sentosa kerjaan gue."

Aksel ambil sodoran kopi hitam seraya mempersilakan Anto duduk di sebelahnya. Pukul sepuluh. Jam istirahat. Dan kantin belum terlalu ramai sebab belum masuk jam kmakan siang. Beberapa hanya turun untuk merokok di smoking area. Seperti dirinya. "Deadline-nya berantakan apa gimana?"

"Yeah. Awalnya dari Gendis sih. Gak tau apa yang dia alami di Medan sana, tapi kacaunya sampe ke sini. Ya gue sih sebenernya maklum. Gendis terhitung baru. Yang bikin keki itu gaya ngamuknya si cungpret-"

Cerocosan Anto terus mengisi menit-menit berikutnya. Aksel terkekeh sesekali. Menyeruput kopinya usai sebatang rokoknya habis. Lalu selang berapa lama, ponselnya menunjukkan whatsapp masuk.

Inga : Ngerokoknya abis makan. Tapi kalau bisa, makan aja. Rokoknya di-skip.

Aksel tersenyum tipis, kemudian mengetik balasan : Berangkat jam 3 sore, kan?

Inga : Iya.

Aksel : Selesainya jam berapa? Kayak biasa?

Inga : Mungkin jam empat atau lima? Aku belum tau pasti, Kak.

Aksel : Gak papa. Gian juga ada latihan. Nanti aku nunggu di sana kayak biasa.

Chat mereka terus belanjut hingga menit berikutnya. Inga semakin intens latihan piano di KeyMuse Studio. Biasa disingkat KM Studio. Inga terhitung member aktif plus unggulan di studio musik bergengsi tersebut. Dan satu keberuntungan, letak KM bersebelahan dengan gedung pelatihan anggar Gian. Airon Fencing Club, namanya. Biasa disingkat Afec Klub - agar tidak terlalu mirip dengan nama klub sepak bola. Tempat parkir kedua tempat itu bahkan berada dalam satu lahan. Itulah sebab mengapa Aksel selalu duduk istirahat di tribun seraya menyaksikan junior-junior anggarnya berlatih. Selain karena KM Studio begitu eksklusif dan melarang orang luar menyaksikan latihan mereka, Aksel itung-itung nostalgia dengan Anggar yang dulu dia geluti, meski hanya setengah jalan dan hobi selintas.

[✓] Her (Feelings Unsaid)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang