2J : Bab 16

2.1K 258 6
                                        

16. Sedikit Nasihat Pak Sapto

***

Ucapan Jemian semalam, ternyata bukan hanya bualan semata. Pagi-pagi, Jerdian sudah tak menemukan keberadaan motornya, sedangkan sang ayah sudah duduk di kursi kemudi, menanti anaknya untuk masuk, namun ia hanya mendapatkan sikap acuh dari Jerdian. Cowok bertubuh tegap dengan tahi lalat di dekat mata itu malah berjalan kaki, meninggalkan pekarangan rumah.

Lima menit, sepuluh menit, bahkan lima belas menit berlalu, Jerdian masih tetap melangkah, namun tak ada tanda-tanda sang ayah yang mengejar dirinya. Ia bukannya pergi untuk berharap dikejar, ia memang benar-benar tak ingin di antar ayahnya, namun tetap saja, terselip rasa kecewa ketika tahu bahwa sang ayah memang tidak benar-benar berniat mengantar dirinya.

Semakin lama berjalan tanpa tujuan, Jerdian akhirnya memutuskan untuk ke makam bundanya. Mungkin, bolos sekolah tak apa. Dia sudah dituduh membolos oleh ayahnya, rugi bukan kalo tidak benar-benar dilakukan. Sebelum sampai di tujuan, ia menyempatkan mampir ke toko bunga untuk membeli bunga kesukaan sang bunda.

"Hai, bun. Ian minta maaf ya, hari ini Ian bolos," gumam Jerdian sambil tersenyum masam.

"Ian sedih, bunda tiduran di sana, tapi kalo bunda bangun, yang ada Ian malah syok berat." Jerdian berucap asal, menyelipkan sedikit candaan agar tidak terkesan rapuh, wajahnya perlahan mendekat, mengecup batu nisan yang sudah lama tertancap di bongkahan tanah itu.

"Bunda pasti tahu, dunia nggak pernah berlaku adil sama setiap penghuninya, karena itulah keadilan yang sebenarnya. Ian selalu maklum kok kalo ayah nggak bisa adil, dan lebih peduli sama Juandra, karena emang anak bunda yang satu itu punya banyak nilai plus. Ian juga nggak marah kalo Andra jadi anak kesayangan ayah." Jerdian menarik napas berat sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Huft, bahkan sekarang manggil nama Juandra dengan Andra aja rasanya asing, bun. Bunda pasti sedih deh, kalo liat Ian sama Andra nggak akur gini. Nanti Ian coba baikan sama Andra ya, bun."

Entah sudah sebanyak apa butiran bening yang lolos dari ujung matanya, yang jelas setidaknya Jerdian sedikit merasa lega, bisa bersandar di nisan sang bunda sambil menceritakan kejamnya dunia yang ia jalani. "Jerdian nggak pernah bisa marah sama Juandra, entah seburuk apa sifat dia. Soalnya, Ian selalu inget kata bunda, anak kembar itu harus saling sayang, iya kan? Tapi, bahkan sampe sekarang Ian nggak tau arti sayang sebenernya gimana. Apa sayang adalah ketika seseorang menjelek-jelekkan orang lain, bahkan di depan ayahnya sendiri?"

Jerdian mengangkat tangannya untuk menampilkan jam yang bertengger di lengannya. Ah, ternyata baru pukul setengah sembilan. Dia berpikir keras antara ingin pergi ke sekolah atau bolos seharian. Namun, langkah kaki membawanya menuju tempat dimana ia seharusnya belajar. Dengan bermodal uang lima ribu, dia mencari angkutan kota yang menuju sekolahnya.

Sesampainya di gerbang sekolah, ia menghela napas lagi, seolah membuang semua masalahnya lewat helaan napas itu. Apalagi ketika matanya bersibobrok dengan guru Bimbingan Konseling —Pak Sapto, Jerdian merasa jika kini masalahnya akan bertambah. Wajahnya sendu, tubuhnya lesu, berjalan tanpa semangat, Jerdian mendekati Pak Sapto. Dia mengambil buku besar yang dibawa oleh sang guru, lalu meminjam pulpen yang ada di genggaman Pak Sapto. Jerdian menuliskan namanya di buku dengan tinta berwarna merah itu.

"Hukumannya apa, pak?" tanya Jerdian spontan, membuat guru yang berdiri kokoh di hadapannya saat ini mengernyit heran. "Tumbenan kamu, menyerahkan diri. Mana nulis nama sendiri lagi."

"Kira bapak saya penjahat apa, bahasanya menyerahkan diri," gerutu Jerdian namun tak ayal membuat guru di hadapannya kini terkekeh.

"Lho ya, iya. Kamu itu salah satu kriminal, buronan saya. Jadi, kenapa telat?"

Dua Sisi (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang