Dua insan itu telah menentang segalanya. Indira telah bersyahadat untuk Rangganya. Dan Rangga telah merakyatkan dirinya untuk Indira. Terlahir kembali, itu yang mereka rasakan.
"Kita akan menikah tanpa adat apa pun. Hanya kita, dan Tuhan."
Rangga mengecup manis dahi wanitanya itu. Memberikan sejuta rasa lewat kecupan hangatnya di atas pelaminan. Mereka telah menyatu di antara luka yang telah mereka alami.
Di tempat yang berbeda, Abimanyu dan Larasati─ orang tua Rangga, tengah melamun dengan pikiran yang hanya tertuju pada putranya yang telah tegas meninggalkan keraton karena menikahi gadis asing.
Tak bisa dibohongi bahwa mereka sangat kehilangan sosok hangat Rangga. Lama mereka menatap sendu kamar Rangga hingga air mata tak bisa mereka bendung lagi, mereka menangis sunyi.
Begitupun dengan Sander. Dia terus memikirkan putrinya yang memilih menikahi seorang pribumi muslim. Ingatan masa lalunya seolah kembali dan akan menimpa putri tunggalnya itu pikirnya.
Ia sudah berusaha menahannya sebagai seorang ayah. Namun Indira keras. Dia benar-benar mencintai Hindia Belanda karena Rangganya.
"Indi, kamu menyesal?" tanya Rangga setelah melihat istri nya yang terus melamun di balik jendela.
Indira mengulas senyuman yang membuat Rangga candu. "Tidak."
"Lalu?"
"Lihatlah rumah ini." Indira berjalan sedikit untuk menunjukkan apa yang ia katakan. "Sangat luas dan sunyi, bukan?"
"Iya, lalu?" Rangga masih bingung dengan apa yang Indira maksud.
Wanita 27 tahun itu berhenti tepat di hadapan suaminya, lalu kembali mengukir senyum tipis di sana. "Kita butuh penghuni-penghuni baru."
Rangga paham. Pria itu menarik Indira untuk masuk ke dalam dekapan hangatnya, lalu mengecup pucuk kepala Indira dalam-dalam.
"Benar. Kita butuh dua, atau mungkin tiga jika kamu mau?"
"Hmm ... Aku ingin mendengar suara tangisan mereka, melihat mereka bermain dan tumbuh menjadi orang hebat seperti kamu, raden." Indira nyaman dalam khayalnya sembari memejamkan manik indahnya.
"Saya juga. Ayo kita hidupkan dongeng kecil ini, Indi ..." Rangga tak bisa menahan senyumannya. Dia juga bisa membayangkan betapa sempurnanya hidup mereka nanti.
Hari-hari telah berganti. Sabtu pagi menyapa hangat keluarga kecil Rangga dalam rumah bercat putihnya.
Indira sangat menyukai bunga, dan Rangga tahu itu. Seperti saat ini, Indira tengah mengamati bunga tulipnya dalam vas keramik yang mulai layu karena waktu.
Gaun biru muda menutup lutut milik wanita itu seakan bersinar karena mentari pagi. Menambahkan kecantikan permaisuri Rangga itu. Lama ia berkutat dengan tulip nya hingga beberapa wanita paruh baya melintas di hadapan kediamannya dengan raut wajah yang kurang bersahabat.
"Selamat pagi ..." sapa ramah Indira.
Alih-alih mendapat jawaban dari sapaannya, justru bisikan kata-kata yang kurang ia suka yang Indira dapat.
"Ternyata bisa bahasa kita, ya?"
"Secantik atau sebaik apa pun itu, tetap saja seorang sekutu."
"Yang ku dengar dia putri tunggal kapten Sander yang kejam itu ...."
"Benarkah? Aku tak menyangka raden Rangga jatuh cinta pada monster berhati dingin."
Dan banyak lagi sebelum akhirnya mereka benar-benar pergi begitu saja dengan tatapan yang sama.
Indira menatap lesu tulip layu itu. Pikirannya terus bergelut untuk memastikan bahwa pilihannya sudah benar.

YOU ARE READING
𝑼𝒏𝒕𝒖𝒌 𝑴𝒂𝒔𝒂 [On Going]
Historical FictionHanya karya tanpa arti dari wanita rapuh yang mencintai prianya dengan lara. . . . "Untukmu, maha karya Tuhan pengagum senja." 📌Read dis! : • Ma 1st story • Bukan real story • No plagiarism, babe! • No complain tentang cerita yang gak sesuai...