02

29 23 7
                                    

Sesuai dengan tawaran Rangga beberapa hari lalu, kini tangan Indira digenggamnya menuju kediaman Sander yang tak terlalu jauh. Sejujurnya Indira ragu, mengingat pernikahan mereka yang tidak mendapatkan restu dari kedua keluarga. Dia hanya mencoba untuk tetap menjalin hubungan dengan keluarganya.

Mata Rangga tak pernah luput dari Indira yang nampak mempesona dengan balutan  dress berwarna oranye yang segar. Pujian selalu terucap dalam hatinya karena mengagumi istri cantiknya itu.

Singkatnya mereka telah sampai di depan gerbang hitam kediaman keluarga Van. Beberapa orang penjaga nampak sudah mengawasi mereka dari kejauhan dan menghalangi pintu gerbang dengan senjata.

"Selamat pagi ..." sapa Rangga.

"Ada keperluan apa kalian kemari?" salah seorang prajurit bertanya.

"Kami ingin bertemu papa Sander." kini Indira yang angkat bicara dengan senyuman.

Mereka tampak berbisik satu sama lain di hadapan Rangga dan Indira, setelah itu seorang prajurit nampak pergi dan memasuki rumah belanda itu.

"Tunggu."

Tak lama mereka menunggu, sebelum akhirnya prajurit itu kembali, dan kembali membisikkan sesuatu.

"Nona Annelies, tuan Sander menunggu di dalam ...."

Indira tersenyum senang, lalu menggandeng tangan rajanya untuk masuk. Sebelum itu, para prajurit menahan Rangga. Sontak Indira berhenti dan menatap heran pada prajurit.

"Hanya nona Annelies." katanya.

"Tapi saya-"

Prajurit itu memotong ucapan Rangga tanpa melepaskan tangannya yang menahan pria itu. "Only Miss Annelies!"

Lalu ia mendorong tubuh Rangga hingga tersungkur. Indira membelalakkan mata tak terima lalu menampar prajurit itu.

"zorg voor je vuile handen!" ("Jaga tangan kotormu!") tegas Indira dengan telunjuk yang menunjuk tepat pada wajah prajurit tadi.

Lalu Indira dengan segera membantu Rangga untuk berdiri. Indira tahu Rangga tidak selemah itu, hanya saja manusia mana yang tidak terkejut karena itu?

"Ini perintah tuan Sander!"

Tatapan sinis Indira lempar padanya. Hatinya tak berhenti mengutuk prajurit tak beretika seperti dia. "Siapa pun itu, mereka tidak pantas disebut manusia!"

"Kamu baik-baik saja??" tanya Indira cemas.

Rangga mengangguk sebelum menjawab itu. "Tidak perlu khawatir."

"Kita pergi sekarang." ucap Indira mulai melangkah dengan terus memeluk tangan Rangga.

Baru beberapa langkah mereka berjalan, panggilan dari seseorang menghentikan mereka.

"Tunggu!"

Mereka berdua kompak menoleh tanpa membalikkan tubuh, dan mendapati Sander dengan setelan putihnya dan tak lupa dengan tongkat yang selalu ia bawa kemana pun.

"Saya ingin bicara dengan raden." ucapnya santai.

Indira semakin mengeratkan pelukannya tanpa ada niatan untuk membiarkan Rangga pergi. "Hiraukan papa. Kita pulang sekarang." Indira dengan bisiknya dan kembali menarik suaminya itu untuk tidak tinggal.

Mereka lantas pergi tanpa permisi. Meninggalkan Sander dengan sejuta kebisuan. Sander hanya menghela napas, lalu menatap sinis para prajurit.

"Tidak seharusnya kalian temperamen seperti tadi." ucapnya sebelum kembali masuk.

Kembali pada kediaman nyaman keluarga kecil Rangga. Indira kini tengah membersihkan jas coklat milik Rangga yang kotor terkena tanah akibat kejadian tadi. Sementara Rangga, dia hanya duduk pada sofa di ruang tamu sambil melamun.

Indira yang melihat itu langsung mendudukan diri nya tepat di sebelah Rangga lalu bersender manja pada bahu suaminya. "Kamu pasti sedih, 'kan?"

"Tidak. Memang sudah seharusnya saya diperlakukan seperti pribumi yang lainnya." jawab Rangga dengan senyumnya.

"Sstts ... Tidak satupun manusia yang pantas mendapat ketidak adilan." Indira memeluk erat tangan Rangga nya. "Sumber masalah di bumi ini adalah rasis yang terus mengakar."

Rangga mengangguk pelan dengan tangannya yang sesekali mengusap pucuk kepala Indira. "Benar. Saya selalu ingin segera menua, lalu pergi meninggalkan dunia yang keji ini."

"Dan meninggalkan aku sendirian?"

"Tidak, ikutlah bersama ku. Kita lakukan hal-hal menyenangkan untuk masa."

Indira berbinar mendengar itu. Matanya terus tertuju pada mata Rangga yang sayu. Sering terlintas pada angan Indira, bagaimana hidupnya tanpa sosok Rangga?. Pria yang menuntunnya untuk mengenal Tuhan, pria yang mengajarkannya cara bersyukur dan menjadi apa adanya, pria yang memberi warna pada hidupnya meski dia bukanlah pelangi. Rangga sempurna dengan segala hal yang ia lakukan.

"Kamu ingat awal kita bertemu??" tanya nona van.

"Tentu."

"Pantai menjadi saksi bisu kita. Bahkan pergi ke sana adalah hal yang selalu kita lakukan setiap kita kencan. Ah ... Aku rindu!" Indira asyik membayangkan masa-masa dimana ia dan Rangga menjalin hubungan diam-diam.

"Mau melihat senja lagi?" Tanya Rangga.

Indira berbinar lalu mengangguk semangat untuk itu. Ia tak sabar untuk pergi menyusuri pantai di bawah langit senja yang hangat. Membayangkannya saja sudah membuat ia senang.

"Kita pergi besok, ya?"

"Kenapa tidak sekarang?" Indira murung.

Tangan Rangga terangkat untuk mengusap lembut pucuk kepala wanitanya. "Hari ini aku ingin bermanja pada nona Annelies saja."

Bohong jika Indira tak tersipu. Terlebih suaminya itu langsung merubah posisinya untuk bersandar pada bahu Indira dengan lengan yang sudah nyaman melingkar di pinggang wanita itu.

"I Love You." Kata Indira.

"More."

Banyak yang sudah mereka lalui untuk sampai disini. Mereka menerima konsekuensi sesuai dengan apa yang orang tua mereka peringatkan. Cacian, kebencian, rasisme, dan banyak lagi. Indira sering kali goyah. Namun, Rangga selalu tau cara untuk meyakinkannya. Karena bagi Rangga, tidak ada lagi tujuan hidupnya selain Tuhan dan membahagiakan Indiranya.

"Bukan perihal masa, tapi tentang rasa yang akan selalu ada."

━─━─━──•✵•──━─━─━

━─━─━──•✵•──━─━─━

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


.
.
.

Gak minta uang, cuma minta vote dan komennya 🛐.

𝑼𝒏𝒕𝒖𝒌 𝑴𝒂𝒔𝒂 [On Going]Where stories live. Discover now