I. An Impression

163 15 0
                                    

Debu-debu melangit kala kain disekakan pada garis jendela tertinggi, memicu saat itu juga, bersin-bersin kecil berulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Debu-debu melangit kala kain disekakan pada garis jendela tertinggi, memicu saat itu juga, bersin-bersin kecil berulang. Ari mengayun tangan di hadapan wajah beberapa kali sembari mengernyitkan dahi, berharap debu yang menjumpa mampu dibawa pergi oleh angin yang mampir. Tak berhenti, langkahnya dibawa kebelakang—yang mana mengakibatkan dirinya tersandung timba tempatnya mencuci kain lap. Suara pekikan bhugh menyapa ruangan tinggi berdesain klasik dengan nuansa cokelat kayu nyentrik, mengisi kelengangan sesaat.

"Oh, demi *Dewa Oodle!" Seru Ari menemukan bokongnya terjerembab masuk ke dalam wadah kain kotor.  Seakan tidak cukup memalukan, atap berhias ornamen emas diatasnya tiba-tiba memasok sinar benderang mentari dari lubang seukuran manusia. Dengan manusia yang bergelantungan di atas ... tunggu, apa itu?

Bongkahan atap mengisi ruangan dan mengotori lantai kayu yang sekian lalu baru diseka bersih oleh Ari. Lagi-lagi, pria itu berulah. Kali ini rumah majikan Ari terkena imbas. Yang mana berarti—dia pula lah yang perlu menghela nafas membersihkan semua kekacauan perbuatan pateri terkenal Kota Quevert tersebut. Morgan Grevyan Analise. Pria jangkung penyendiri yang jarang-jarang menunjukkan batang hidung. Ketahuilah, sekali ia melakukannya—maka hanya kekalutan menyapa. Morgan Grevyan dan ketidakberesan itu sepaket, yah, setidaknya kata orang-orang.

Hanya setengah porsi tubuhnya terlihat dari tempat Ari memijat dahi. "Tu—Tuan Morgan? Anda tidak apa-apa disana?" Ari kini berkacak pinggang dibawah kaki yang menggowes-gowes udara bagai kuda. Ia tidak begitu mengenal pria misterius yang tinggal sendiri di ujung bukit ini, nadanya begitu canggung dan tak tahu harus bagaimana. Haruskah ia bersikap santai atau formal? Ah, persetan sudah. Terpenting adalah membawa Morgan Grevyan ke tanah untuk menapak.

Batuk-batuk kental mengisi udara. Kemudian suara berat yang tidak disangka-sangka menyeru balik. "Maaf ... Saya tidak bermaksud merusak atap rumah Anda. Saya akan memperbaikinya jika ... jika saya sudah terlepas dari jangkar yang menjepit saya ini."

Ari menerbitkan senyum. Pertama kalinya ia berbincang dengan pria kikuk ini dan ternyata tidak buruk juga. Pria yang sopan.

"Tuan rumah, eh—Mrs. Yuchaz—sedang bertamu, jadi, biarkan saya membantu Anda, Tuan." Entah apa yang akan Ari katakan berpulangnya Mrs. Yuchaz dan keluarga perihal atapnya yang menghilang semeter panjang.

Langkah kaki berat tergesa-gesa masuk ruangan. Ah, Kepala Pelayan Roosechevelt. "Nona Boots, suara apa itu—Ya Tuhan!" Tuan Roo, berkepala empat, berambut klinis dan tipis dengan bibir yang selalu tersenyum itu melonjak kaget setelah melempar tatap kebingungan kepada Ari. "Mother Merlins! Bisa kau jelaskan, Arianne?"

"Penjelasan sebaiknya menunggu. Saat ini, kita butuh tangga, Roo!"

[]

Malam itu, para tukang terpercaya dipanggil Roo atas komando Mrs. Yuchaz yang air wajahnya suram diberitahu kejadian pagi tadi. Ia terus memaki-maki sembari menunjuk-nunjuk bukit (yang sebenarnya tidak bersalah). "Dasar tak tahu diuntung! Bertamu untuk melubangi atap orang, hah?!" Katanya penuh gemuruh amarah. Padahal pelaku sudah menawarkan uang kompensasi dan mendatangkan tukang, tetap saja karakter pemarah Mrs. Yuchaz tidak kunjung pamit.

"Suruh pemuda itu angkat kaki sekarang!" Bentak Mrs. Yuchaz yang dipijat-pijat oleh para dayang. Ari yang berdiri di luar ruangan sampai mendengar gaungan suaranya. Cukup seram, namun cukup terbiasa ia mendengarnya (menilik karakter Mrs. Yuchaz yang memang keras dan suka terbawa emosi).

"Tidak berujung baik, hah?" Roo yang baru saja keluar ruangan, menghela berat dan menggeleng. "Tidak pernah berujung baik. Apa boleh buat."

Ari mengekor dibelakang. Morgan Grevyan tengah bersandar di pedati kayu terbuka berisikan rongsokan hasil pateri yang menembus dinding rumah Mrs. Yuchaz ketika Roo menyampaikan pesan amuk Tuan Rumah. Ia mengangguk-angguk kaku. Tubuhnya tegak namun kakinya layu. Pinggulnya terluka, mungkin. Kain sifonnya tergores hingga robek. Ya Tuhan, Morgan Grevyan terlihat menyedihkan.

"Saya mengerti. Maaf dan terima kasih." Ia berbalik, tangannya menggapai genggaman pedati. Topi beret hitamnya diturukan sekilas. Segores senyum kikuk ia tuju pada Roo dan Ari. "Maaf sudah merepotkan kalian."

Morgan Grevyan melangkah menjauhi perkarangan keluarga Yuchaz, timpang dan kesusahan. "Sejak kepergian Mayor, hidupnya semakin susah dan tidak terkendali. Tuan Muda yang malang." Ari mengangguk setuju. Pinggangnya ia regang. "Tapi, Roo, kau tahu sebab kematian Mayor terdahulu?"

Roo bergeming sesaat. Ainnya terjatuh pada bukit jauh penuh peri-peri bunga dalam pencak rona yang bergelimang. Bahkan kala matahari terjatuh dan malam mulai merajut cakrawala, kebun keluarga Yuchaz selalu begitu memesona. Ia membetulkan letak dasi hitamnya. Katanya, "Bunuh diri. Itu yang dikatakan polisi."

Roo melanjutkan, "Ia meninggalkan Tuan Grevyan yang hanya berumur sembilan. Tanpa ibu."

Kemudian kelengangan terjadi. Ari berandai-andai pada diri. Lalu ketika para serampang mulai menyerang, mereka berdua lantas menginjakkan kaki kembali ke dalam. Dengan bahu berat dan rasa iba.

The Quevert's TinkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang