II. Catastrophic

110 15 2
                                    

Sepekan ini Quevert tengah heboh akan kedatangan yang tak disangka-sangka (sebenarnya Ari menyangka, hanya waktu kedatangannya agak tidak lazim—jadi tetap 'cukup' mengejutkan)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepekan ini Quevert tengah heboh akan kedatangan yang tak disangka-sangka (sebenarnya Ari menyangka, hanya waktu kedatangannya agak tidak lazim—jadi tetap 'cukup' mengejutkan). Desas-desus meriakan kabar bahwa: Kekaisaran—Kaisar Yeruda sendiri—akan menggelar pesta perayaan Quevert yang ke-99. Entah apa tujuannya. Setiap tahun dirayakan, tapi hanya perwakilan yang dikirim sebagai pesan meriah titipan Kaisar. Cukup mencurigakan jika ditimbang-timbang. Ini berarti, kekaisaran membutuhkan sesuatu, bukan?

Seminggu berlalu sejak fenomena Morgan Grevyan tersangkut atap. Mrs. Yuchaz terus mendengkus mengingat-ingat kejadian tersebut. Bahkan memperketat pengawal dan mendikte untuk menjauhkan Morgan Grevyan setidaknya 100 meter dari perkarangan tempat tinggal Yuchaz, baik di langit maupun darat. Ari tidak habis pikir. Tuan Grevyan tidak pernah terlihat entitasnya dimanapun berada. Cukup bijak meninjau kegaduhan terakhir yang ia sebabkan memanas menjadi buah bibir habis-habisan diantara kalangan bangsawan.

"Kurasa dia sudah sakit jiwa."

"Sayang sekali. Kalau dia benar mungkin sudah kujodohkan dengan putriku. Ketampanannya terbuang sia-sia."

Kira-kira inti dari cemoohannya melipir analog. Ari dan kawan kerjanya, Quela, tengah mematung menunggu arahan sembari menonton cengkerama picisan bersanding teh dan kue-kue manis jamuan Yuchaz yang diadakan di rumah kaca perkebunan. Bangunan melintang berpondasi emas yang terukir menyatu langit, seakan berdansa bersama matahari yang menembus kaca-kaca prisma berdekor berlian yang pantulannya ciptakan gradasi warna semburat pelangi. Seakan lelangit rumah kaca dikubahi pelangi kiriman dewa-dewi yang disenangkan hari ini.

"Pelayan!" Gerutu-gerutu kecil membuntuti hentakan juru masak utama, Sir Beryll, terburu-buru ia—tidak menghiraukan tatap-tatapan tak suka pelayan lainnya. Ia menghampiri kedua gadis di sebelah pintu keluar barat timur yang melongok akan tingkah mencak-mencak Beryll. "Nona-Nona! Demi Dewa Oodles! Kacau! Ini semua kacau!"

Celemek putih tulangnya bertengger arak, tak terlihat dibenahi, dan dahinya berderai keringat yang telah tercampur minyak—tidak pernah Beryll si maniak kebersihan terlihat begitu awut-awutan. Ini cukup menggegerkan bagi seorang juru masak terpandang sepertinya, menghampiri langsung dari singgasana (yang berarti dapur). Kemana bawahannya yang lain? Ah, tak tahu lah. "Apa yang terjadi di dapur?" Tanya Ari prihatin.

"Ayam!"

Ari dan Quela bersitatap keheranan. "Maksudmu ayam?"

"Kalkun!"

Quela hampir tertawa. "Sir Beryll, apa kau demam unggas?"

"Tidak, tidak! Burung unta pula!" Beryll mengambil nafas dalam kemegahan sebelum mengatakan, "Kita diserang para unggas!"

[]

Terkutuk. Malam disambut pekikan histeria dari setiap sudut kota. Sebuah katastrofe yang tak sampai di akal. Bayangkan, rumah-rumah sampai gereja utama padat akan unggas-unggas menggila. Seakan dirasuki oleh roh-roh jahat, mereka memecahkan jendela kaca, merobohkan pintu masuk, dan menyakiti para penduduk setempat. Mata mereka bagai dibutakan kedagalan. Putih kelontang. Bangunan dewan perwalian ramai diamuk massa. Musibah konyol macam apa ini!? Ayam-ayam menggila dan meninggalkan fesesnya di rambut anak-anak?? Begitu kiranya sedikit pecutan amarah yang beredar.

"Aaaaaa! Tangkap! Tangkap!! Tangkap semuanya sebelum kotorannya sampai ke hidungku!" Lorong Mrs. Yuchaz dari atas meja makan, menjinjit kecil sembari berlindung di belakang pundak Roo yang dasinya dipatuk-patuk tidak sabaran—walau kelihatannya Roo lebih kelihatan sukar rambut klinisnya habis dijambaki sang majikan (terlihat dari matanya yang menyerah).

"Kalungku! Kalungku!" Tuan Putri Leia, anak pertama dari pasangan Yuchaz menunjuk kalkun yang mencabik kalung emas berdinding rubinnya pergi. "Tangkap burung unta itu!" Teriak putri yang tengah mengamankan diri dalam panggulan salah seorang pengawal rumah.

Tentu, Ari dengan keimpulsifannya langsung menempatkan diri di atas punuk keras burung tersebut—yang mana menarik pelatuk panik hewan itu, menakutinya, membuatnya berjempalitan, mengantuk apapun di hadapan jika itu berarti melepaskan genggaman Ari dari ceruk leher jenjangnya. "Kembalikan kalungnya, unta!" Bahkan kala sang burung unta lepas kendali, berlari dalam kecepatan diatas rata-rata, Ari teguh dalam kepayahan. "Minggir! Minggir!"

Dan ketika realita tertumpas dingin menyiram dahi dan menarik kembali kewarasannya, Ari dan sang burung unta tengah berlari ke arah kematian. Lain kata, tebing timur Quevert yang memimpin langsung ke deburan ombak hampir tiga ratus meter dibawah.

"Tidak! Bukan kesitu!" Ari menepuk-nepuk leher si burung yang dirasa tuli. Buncahan emosi malah membobardir, liuk-liukan leher, dan patuk-patukan yang mencoba meraih Ari diperagakan. Disitulah Ari merasa bahwa dirinya—telah tamat. "Dalam nama Tuhanku," Ari mencoba melengos dalam loncatan.

Namun terlambat. Ia dan burung terkutuk itu telah melewati batas hidup dan menyapa hembusan maut. Debur keras terdengar. Pecahan ombak kikisan karang memekik telinga. Kematian terasa begitu dekat. Ketika ... ketika ... astagah! Ari merasa jiwanya melayang. Kakinya terangkat tinggi. Bukannya jatuh, ia justru merasa terangkat. Inikah maut? Inikah akhir dari mortalitas yang sementara?

"Nona, jangan panik dan pegang erat." Eh?!

Rahangnya jatuh ke lambung. Bagaimana bisa ... bagaimana bisa ia terbang diantara bintang, bersebelahan dengan bulan? Dengan perangkat aneh milik Morgan Grevyan yang kini tanpa sadar melingkarkan tangan di pinggul Ari sedikit terlalu rapat. 

"Tu ... Tuan!"

"Jangan panik, Nona. Nona aman bersama saya."

Ari hampir melonjak di udara. Ia kehilangan akal. Ia sudah mati. Betul, kan?

The Quevert's TinkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang