part 2

13 2 0
                                    

Kring..

Lonceng pintu toko kembali berbunyi. Menampilkan sosok pria berkarisma.

Fathin berdiri untuk menyambut pelanggan itu.

"Selamat datang, silahkan, bisa dipilih.." seru Fathin bersemangat.

"Eum..mbak, roti tart nya masih ada ga ya?" Tanya pria tersebut.

Deg!

Pandangan mereka bertemu. Sungguh, ini tidak disengaja. Haruskah Fathin beristighfar? Atau ber subhanallah?

Fathin tidak bohong, mata lelaki itu, manik mata lelaki itu, tajam, namun teduh.

Fathin beristighfar kala ia menyadari kesalahannya. Sontak ia memutuskan pandangannya.

"Fathin? Lo kerja disini?" Tanya Gavin bingung.

Ya, lelaki mengagumkan itu adalah Gavin Radipta. Lelaki yang siang tadi berusaha mengajak Fathin mengobrol.

"Ini..ini.. ini toko gue" jawab Fathin gelagapan.

"Widih..hebat juga ya Lo, Masi SMA, dah punya toko roti sendiri" puji Gavin.

"I-iya.. makasih" balas Fathin, ragu.

"Btw, tart nya ada ga, Thin?" Gavin kembali menanyakan roti tart yang tadi ia cari.

"Oh, masih.. sebentar." Fathin berbalik badan, membuka kulkas yang berada di dbelakangnya.

"Ini, mau? Tinggal yang coklat. Yang blue sea belum di bikin sama mbak Aca." Entah apa yang mendorong Fathin untuk banyak berbicara saat ini.

"Iya, gapapa.. yang ini satu. Di tulisin bisa gak?" Tanya Gavin, sangat lembut.

Masya Allah, suara ini sungguh membuat hati Fathin terlena.

Astaghfirullah! Ini dosa! Tidak boleh! Fathin! Sadarlah...

"B-bisa, mau ditulisin apa?" Tanya Fathin.

"HBD nenek" jawab Gavin singkat.

Ternyata, cowok berandalan, tak seburuk namanya yang digelar di sekolah. Justru dia sangat lembut dan baik hati.

"Tunggu yaa" balas Fathin, lemah lembut.

Senyuman Fathin yang membentuk lesung Pipit manis di pipi kanannya berhasil membuai mata dan hati Gavin.

'cantik juga, lembut, manis lagi' puji Gavin dalam hatinya.

Tak lama, Fathin keluar dengan roti tart cokelat yang telah ia hias dengan sepenuh hati.

"Ini.. gimana? Suka ga?" Tanya Fathin, dengan mata penuh harapan.

"Bagus, makasih ya" ujar Gavin.

Fathin hanya mengangguk sekilas. Kemudian, membungkus kue tersebut.

"Totalnya, 236k, itu udah sama diskon." Kata Fathin, sembari melihat komputer kasir.

"Oke.." Gavin menyodorkan uang sebesar 250 ribu rupiah kepada Fathin.

"Taruh meja aja, Gav." Tolak Fathin lembut. Gavin tau maksud Fathin.

Hal itu dikatakan Fathin karena Fathin tak mau tangannya bersentuhan langsung dengan kulit tangan Gavin.

Meskipun, hali itu bisa dihindari, namun lebih baik waspada kan?

Gavin tersenyum melihat wajah manis Fathin yang berusaha menyembunyikan wajahnya dari Gavin.

"Harus banget ya, Lo ngumpetin wajah manis Lo dari gue?" Kalimat itu meluncur dengan lancar nya dari mulut Gavin.

"Ya? Oh, karena, kata umi, lebih baik menjaga pandangan dari pada terjerumus kedalam zina. Kan, katanya, dari mata turun ke hati..
Sedangkan, gue ga mau kalo gue, berharap lebih kepada manusia yang sebenarnya bukan buat gue. Karena, sekali lagi, jodoh, Allah yang nentuin. Gue ga bisa nolak takdir gitu aja. Dan, kata umi, mata gue terlalu berharga buat ngeliat hal hal hina dan zina. Hati gue, terlalu bersih buat diisi sesuatu yang ga bermanfaat, karena itu, mendingan gue ngejaga harta berharga gue, dari pada ngebuang harta berharga gue cuma buat hal yang bikin gue ngebisin waktu untuk hal hal yang sia sia." Jelas Fathin panjang lebar

FathinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang