°2

31 2 16
                                    

"Mereka hanya menilai yang mereka lihat, tanpa tau latar belakangnya."



"SIALAN LO—"

Teriakannya terhenti saat dia melihat wajah orang yang menabraknya tadi.

"Ama.." Suaranya terdengar lirih.

Cepat-cepat ia menegakkan tubuhnya.

"Ama. Lo Ama kan?" Tanyanya dengan nada menuntut.

"Bukan. Tama yang benar." Jawab Tama.

Memeluk tubuh Tama dengan erat, menyembunyikan wajahnya diperpotongan leher Tama, menyalurkan rindu yang selama ini terpendam karna sudah lama tak berjumpa.

"Akhirnya.. gue ketemu lo lagi Ama. Gue dan yang lain kangen." Suaranya seperti menahan tangis yang kapan saja siap untuk keluar.

Tama tak membalas ucapan orang tersebut melainkan membalas pelukan tersebut dan mengusap pundak tegap itu, seakan memberikan isyarat.

Air mata yang mati-matian ditahan, akhirnya luruh juga. Terisak pelan, mengeratkan pelukannya. Pelukan yang tak akan cukup untuk menyampaikan semua rindu yang tertahan selama ini.

"Hiks... Ama."

"Iya Vanvan?"

Benar sosok yang Tama tabrak tadi tak lain adalah sahabat kecil Tama. Revandra Arkelo namanya. Vanvan adalah panggilan kecil mereka dulu.

Evan merupakan salah satu sahabat Tama yang sangat manja terhadap Tama, tapi dapat tegas bila dalam keadaan serius. Tubuh Evan lebih tinggi daripada Tama. Tama hanya sebatas ketiak Evan.

Rambut pendek khas anak sekolahan di tata rapi. Anak yang disiplin adalah julukan dari masa sekolah dasar begitu juga dengan Tama dan sahabatnya yang lain.

Bagi mereka kerapian itu nomor satu.

Suara Evan itu serak, tapi selalu dibuat mendayu-dayu manja bila bersama Tama. Tama hanya bisa geleng kepala melihatnya.

"Kangen Ama, Ama kangen, Kangen." Evan menyuarakan betapa rindu dirinya terhadap Tama.

"Rindu juga, diperbolehkan?"

Kepala Evan mengangguk ribut. Siapa yang tidak memperbolehkan Tama merindukan dirinya. Ia bahkan berharap Tama selalu merindukan dirinya sebagaimana ia merindukan Tama.

Tama tak berniat melepaskan pelukan tersebut, karna Tama tau sahabatnya ini ingin melepas rindu, begitupun dirinya. Munafik rasanya bila ia berucap bahwa dia ingin pelukan ini cepat berakhirnya karna pada nyatanya, ia tak ingin pelukan ini cepat berakhir.

Hangat.

Tama lupa kapan terakhir kali dirinya mendapat sebuah pelukan hangat seperti ini.

Evan melepaskan pelukannya terhadap Tama, memandang mata sahabat kecilnya itu, mata yang selalu Evan puja.

"Ama.. kemana aja? Vanvan sama yang lain udah cari kerumah lama ga ada, rumahnya udah ditempati orang lain. Ama udah pindah?"

"Tidak kemana-mana Evan. Iya Ama sudah pindah, rumah itu sudah dijual."

"Kenapa?"

"Tidak ada."

Evan tak lanjut bertanya setelahnya, karna Evan tahu bila Tama ingin, maka dia akan menjelaskannya, bila tidak maka tidak.

Menggenggam tangan Tama. Evan bergumam pelan, "Masih sama, kecil banget tangannya Ama."

Tama merenggut sebal, "Mengejek?"

Evan menggeleng, "Engga Ama, Vanvan ga ngejek, itu fakta."

Mendengus sebal, melepaskan genggaman tangannya bersama Evan.

Tama berjalan menuju lapangan, melihat sekitar sudah mulai sepi. Tama takut terlambat dan berakhir dihukum, dirinya tak ingin.

"AMA, AMA, AMA, VANVANNYA JANGAN DITINGGAL," Teriak Evan sembari mengejar Tama yang sudah semakin menjauh.

Tama sampai dilapangan. Seluruh siswa sudah membentuk barisannya masing-masing.

Evan sampai setelahnya disamping Tama dengan nafas terengah-engah.

"Hah Ama hah kok ninggalin Vanvan hah."

Tama tak menjawab, tapi malah balik bertanya. "Dimana barisan saya?".

Evan merengut tak suka. Tama masih sama seperti dulu, kaku.

"Ama jurusan apa?"

"Akuntansi." Jawab Tama singkat.

Pikiran Evan terlempar ke masa-masa mereka masih menduduki bangku sekolah menengah pertama.

"Ama mau masuk apa nanti?"

"Otomotif."

"Otomotif?"

"Ya."

"KAMI AKAN IKUT MASUK OTOMOTIF JUGA."

Itu adalah percakapan terakhir mereka sebelum mereka berpisah.

"Ama.. kenapa ga otomotif?" Tanya Evan dengan hati-hati.

Tama tak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya pelan.

Evan menghembuskan nafasnya, Tama selalu menyimpan bebannya sendiri. Dirinya sama sekali tak suka, begitupun dengan yang lain.

Tak mau Tama terlambat, Evan segera menggantarkan Tama ke barisan jurusan akuntansi.

Evan berlari menuju teman-temannya. Osis, untuk melaksankan tugasnya.

Ya, Evan salah satu anggota osis. Bukan ketua apalagi wakil. Evan itu Bendahara osis.









Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PluviophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang