Day 6

25 7 0
                                    

Happy reading and sorry for typo
____________

Hari ini, Tian menculik Jihan dari rumahnya. Membawa gadis cantik itu ke sebuah taman bunga tulip. Jangan ragukan kelengkapan di perumahan ini. Semua pasti ada.

"Lo nyulik gue kesini buat apa sih?" Jihan menggerutu melihat Tian yang menghampirinya, setelah meninggalkan gadis itu ditengah-tengah bunga tulip warna-warni.

"Nostalgia."

"Kita aja baru kenal seminggu yang lalu." Ujar Jihan tak habis pikir.

Nostalgia yang benar saja? Ia saja baru mengenal lelaki ini seminggu yang lalu. Apa yang harus dikenang lagi?

"Lo pasti lupa ya?"

"Lupa apa?" Sekarang Jihan semakin pusing dengan ucapan Tian

"Kita pernah ketemu sebelumnya. Satu tahun yang lalu. Di rumah sakit. Waktu itu gue lagi drop, terus keluyuran sendirian. Lo malah ngajak gue duduk nemenin Lo."

Jihan mengernyitkan keningnya mendengar penuturan Tian. Sirkuit otaknya mencoba mengolah memori yang ia miliki. Sebelum selintas kenangan muncul.

It's time to flashback___

Hari itu Jihan baru saja konsultasi mingguan dengan dokter spesialis.

Sendirian.

Kedua orangtuanya bukannya tak ingin menemani, hanya saja sang bunda terpaksa harus menemani ayah Jihan yang memang mendapat tugas keluar pulau.

Jihan tak keberatan. Ia tentu tak mau membuat beban kedua orangtuanya semakin berat karena bersikap kekanak-kanakan dengan tak ingin sang bunda ikut ayahnya.

Akhirnya, ia mendatangi rumah sakit itu sendirian.

"Jihan, sendirian aja?" Dokter Tasya- Dokter yang menangani Jihan bertanya.

"Iya, bunda sama ayah ada urusan di luar pulau."

Tasya hanya menganggukkan kepalanya, sebelum menuntun Jihan kebalik tirai. Untuk melakukan pemeriksaan.

"Jihan, dokter minta maaf sebelumnya karena harus mengatakan ini langsung kepada kamu."

Jihan berusaha menetralkan detak jantungnya. Ia harus siap mendengar apapun kata yang keluar dari mulut dokter muda didepannya ini. Siap tak siap.

"Enggak masalah, dok. Aku bakal tetep denger apapun hasilnya." Ujar Jihan sambil mengulas senyum manis.

Tasya menghela napas pelan, ia sebenarnya tak ingin melihat pasiennya yang masih muda ini mendengar langsung hasil pemeriksaannya. Tapi apa daya? Profesinya sebagai dokter mengharuskannya untuk memberitahu Jihan.

"Kondisi jantung kamu sekarang semakin melemah. Dan kemungkinan kamu untuk hidup semakin sedikit. Kamu harus melakukan cangkok jantung kalau memang ingin sembuh total. Karena mau bagaimana pun pengobatan yang kamu jalani disini tak akan membantu kamu sembuh secara total Jihan. Hanya cangkok jantung itu solusinya."

Jihan mengangguk pelan. Ia tahu kata-kata itu akan keluar dari mulut sang dokter itu, cepat atau lambat. Karena bagaimanapun ia memang sempat melakukan searching tentang penyakitnya ini. Dan perkataan Tasya barusan memang ia temukan disalah satu kutipan laman web yang ia baca.

"Aku gak mau keluarga orang lain mengorbankan nyawa seseorang demi aku." Jihan berujar pelan

Tanya mengelus Surai hitam Jihan lembut.

"Kamu bicarain ini sama orang tua kamu dulu. Apapun keputusannya, dokter bakal lakuin yang terbaik."

Jihan mengangguk sebelum pamit undur diri.

Ia berjalan menunduk di sepanjang koridor rumah sakit. Sebelum mendudukkan diri dikursi tunggu didepan sebuah ruangan.

Saat ia mendongak, ia melihat sosok pemuda yang nampaknya sedang sama hancurnya dengan dirinya. Ia pun menarik lengan pemuda itu pelan. Mengajaknya duduk disampingnya.

"Gue tahu apa yang lo rasain. Gue sama hancurnya sama lo. Kita sama-sama sakit. Well, mungkin lo pikir gue stres, gila, sinting, whatever your impression for me, gue cuma mau berbagi aja. Berbagi harapan yang hanya tinggal sengenggam. Gue tahu lo sama kayak gue, sama-sama hampir mati. Gak peduli kalau gue curi-curi dengar apa yang lo sama dokter mahen ributin. Gue cuma mau bilang, seenggaknya kita udah berusaha untuk sembuh. Soal sembuh atau enggaknya itu urusan sang maha. Percaya aja kalau yang esa lebih tahu apa yang terbaik. Karena kalau kita pasrah, ada banyak kebahagiaan yang dihancurkan. Sekarang fokus untuk sembuh dan selalu berbuat baik aja. Seenggaknya kalau kita mati, nama kita akan dikenang selalu sebagai orang yang baik."

Jihan meninggalkan pemuda itu. Berjalan dengan tatapan menusuk lantai dengan elegi kesedihan.

Jihan menghela napas berat setelah selintas memori itu muncul. Saat itu ia memang sedang hancur. Kebetulan ia mendengar percakapan Tian dengan dokter mahen, hingga ia memutuskan untuk berbicara pada Tian. Ia hanya tak ingin Tian hancur sendirian sepertinya.

"Gue inget."

"Makasih, Ji." Tian mengulas senyum tulusnya pertama kali di depan Jihan.

"Makasih udah narik gue dari jurang keputusasaan. Gue jadi tahu apa yang harus gue lakuin, sampe waktunya gue buat pulang." Tian berujar dengan manik yang dipenuhi oleh ketulusan dan kejujuran.

Jihan hanya dia memandangi tulip-tulip yang tersusun rapi. Sebelum menghela napas pelan, "sama-sama, Tian."

Tian menatap Jihan lekat, begitu dalam. Sedang sang gadis masih asik memandang rangkaian tulip dihadapannya. Visinya jauh menerawang angkasa.

"Ji, kalau gue pulang duluan.... Gue boleh donorin jantung buat Lo, gak?"

Jihan tersentak dari lamunannya, menatap Tian sangsi. " Jangan buat gue dirudung perasaan bersalah, Tian. Lagian gue kan udah bilang kalau gak perlu donorin jantung lo. Lo juga udah janji. Buat apa gue nolak donor jantung dari orang lain selama ini kalau malah Lo yang jadi pendonor akhirnya?"

Tian mengulas senyum tulusnya. "Enggak apa, Jihan. Toh, gue pada dasarnya udah pulang, kan? Bukan karena Lo gue pulang."

Jihan menghela napas panjang, sembari menutup matanya sejenak. Untuk kembali menerawang kumpulan tulip dihadapannya.

"Mending gue ikut Lo pulang, daripada gue harus tersiksa hidup dibalik bayang-bayang jantung Lo."

Tian menggelengkan kepalanya. Tentu ia tahu watak gadis yang duduk disebelahnya. Begitu keras kepala.

"Tapi Lo harus janji bakal terima donor jantung dari siapapun itu, kalau gue udah pulang duluan." Tawar Tian kemudian.

Jihan mengangguk kecil sembari memejamkan matanya.

______

Menuju ending kawannnn...

~jnawa

24/7 [ End ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang