Prologue: Happenstance

295 40 3
                                    

Di antara gemerlap lampu gantung dan berbagai hidangan mewah yang tersaji di atas meja, nampaknya hanya Hwang Hyunjin yang tidak tertarik untuk bergabung ke dalam hiruk pikuk pesta yang diadakan oleh salah satu kolega keluarganya. Sebab, kedatangannya ke pesta malam ini seutuhnya karena keterpaksaan. Pemuda itupun memutuskan untuk menyendiri di langkan balkon, menghirup udara segar karena tak tahan dengan suasana pesta yang sesak dan membosankan.

Dengan malas, Hyunjin menyesap segelas scotch di tangannya hingga tandas. Obsidian kembarnya berpendar ke seluruh penjuru ruangan, menyaksikan sekumpulan konglomerat yang saling bercengkerama sembari menyombongkan diri. Selama hidupnya, pemandangan itulah yang Hyunjin lihat pada setiap pesta yang ia datangi. Oleh sebab itu, dibandingkan sebuah pesta, Hyunjin lebih senang jika menyebut tempat ini sebagai arena persaingan.

"Sayang sekali kalau orang setampan dirimu cuma menyendiri di sini."

Susah payah Hyunjin menyembunyikan eksistensinya dari atensi para pengunjung pesta, namun seorang pemuda asing kini berhasil menemukannya. Hyunjin hanya meliriknya sekilas, kemudian memberikan gestur mengusir. "Aku tidak butuh tambahan scotch lagi, pergi sana!"

"Sembarangan!" Pemuda itu membulatkan matanya tidak terima, bibirnya terlipat kesal. "—aku bukan pelayan." Imbuhnya dengan tegas.

Hyunjin mendecak sembari membalik tubuhnya sehingga kini punggungnya yang menyandar di langkan. Pemilik marga Hwang itu mengernyitkan kening dengan mata memincing, memindai sosok pemuda yang baru saja menghampirinya dari puncak kepala hingga ujung tumit. Perawakannya yang pendek dibaluti pakaian sederhana sangat kontradiktif dengan gaya para konglomerat lainnya yang juga diundang dalam pesta ini. Bahkan, jika Hyunjin cukup tega untuk mendefinisikannya, kata miskin sepertinya lebih tepat.

"Aku kemari bawa undangan kok, nih!"

"Alright," Hyunjin menghela napasnya kasar tatkala melihat undangan yang sama persis seperti miliknya. Kemudian, ia mengedikkan bahunya tak acuh. "Kusarankan kau kembali saja ke hall dan nikmati pestanya."

"Aku kan baru saja dari hall, kenapa harus ke sana lagi? Aku sudah makan salmon carpaccio, abalone, buah-buahan, dan berbagai jenis kue." Tutur pemuda asing itu panjang lebar dan nyaris tanpa spasi. Kepalanya meneleng, menatap Hyunjin dengan pupil yang berbinar. "—atau kau mau aku ambilkan sesuatu? Kalau aku sih merekomendasikan puding stroberi."

Tidak, bukan itu jawaban yang Hyunjin harapkan. Biasanya, orang-orang akan segera paham dan lekas menyingkir hanya dengan melihat raut wajahnya yang mengeras dan tidak bersahabat. Akan tetapi, pemuda aneh ini justru terlihat sama sekali tak terintimidasi oleh eksistensinya.

"Cih! Menyebalkan." Hyujin mendecak kesal. Gelas scotch-nya mengeluarkan suara halus dari sisa es batu yang berbenturan, terlalu malas untuk melanjutkan konversasi di antara keduanya.

"Uhm, sebenarnya aku juga merasa begitu." Pemuda asing itu kembali bersuara, sedikit menjinjit untuk mendekatkan wajahnya, lalu membisik beberapa inchi dari telinga Hyunjin. "—orang-orang di dalam sana memang menyebalkan."

Kehilangan kata-kata, Hyunjin menatap pemuda di hadapannya separuh tercengang.

"Aku tidak sedang membicarakan mereka, bocah." Hyunjin mendesis penuh bisa, matanya memincing dengan telunjuk yang teracung pada wajah pemuda di hadapannya. "—yang kumaksud itu dirimu." tukasnya garang.

"Ih! Seram," pemuda asing itu mencibir. Kemudian, ia mengangkat kedua tangannya defensif. "Masa begitu saja marah? Aku tidak tahu kalau kau ternyata orang yang sentimen. Tapi aku bukan bocah, dua bulan lalu aku genap berusia dua puluh." sanggahnya tidak terima.

Hyunjin terkekeh, namun terdengar penuh sarkasme, "Jangan sok tahu," tandasnya dengan senyum separuh, menyeringai. "aku marah karena kau terlalu banyak bicara," Hyunjin mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, "—dan itu menggangguku."

Underlying Causes [hhj+jyi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang