"Hyunjin, ini foto keluarga Tuan Park."
Sebelah alis Hyunjin terangkat naik, atensinya beralih dari layar komputer menuju selembar potret keluarga yang ibunya letakkan di atas meja kerjanya.
"—supaya kau bisa ingat wajah anak Tuan Park yang Mama maksud, jadi kau tidak membuat kesalahan lagi seperti semalam." Imbuh nyonya Hwang seakan paham dengan raut kebingungan di paras rupawan putranya.
Hyunjin menghela napasnya kasar, sangat transparan bahwa dirinya kini sudah lelah kembali terlibat dalam perdebatan dengan sang ibu. "Aku tidak butuh itu, Ma. Lagi pula semalam aku sudah datang ke pesta Tuan Park dan bersenang-senang seperti keinginan Mama."
"Berdansa dengan pelayan pesta kau sebut itu bersenang-senang?!" Nyonya Hwang mengetatkan rahang, rautnya tampak kesal. "Mama pikir seleramu lebih baik daripada itu, Hyunjin."
"Dia bukan pelayan." Hyunjin memijit pangkal hidungnya, rasanya masih terlalu pagi untuk kepalanya memikul satu lagi beban baru. Padahal ia sudah berupaya melupakan sosok pemuda aneh yang berhasil menjadikan arena persaingan semalam sedikit lebih layak disebut sebagai pesta.
Nyonya Hwang bersedekap, "Mama tidak peduli siapa dia. Yang harus kau lakukan sekarang adalah mendekati putri sulung keluarga Tuan Park, mengerti?"
"Ma—"
"Selama ini Mama sudah cukup tahan membiarkanmu melakukan apapun. Kau hidup bebas selama berkuliah di Australia, mengecat rambut seperti preman, memakai labret kampungan dan tato seperti sampah. Apa itu masih belum cukup? Sejak Papa tidak ada, kau pria satu-satunya. Sekarang sudah saatnya kau berhenti main-main dan hiduplah dengan benar." Wanita paruh baya itu berujar menyakitkan, sorotnya menghunus tepat pada netra sang putra."—setidaknya sedikit lebih benar, Hyunjin."
"Jadi Mama memata-mataiku selama aku tinggal di Australia?!" Hyunjin merasakan kerongkongannya panas, kendali emosinya buyar entah kemana. Jemari di sisi tubuhnya mengepal kuat, respirasinya sesak oleh jutaan emosi dan kini Hyunjin tak mampu membendungnya lagi. "—aku sudah bilang berkali-kali, duduk di kursi direktur ini bukan keinginanku."
"Kau bisa bilang seperti itu sekarang, jadi biar kuingatkan satu hal..." Nyonya Hwang menjeda kalimatnya dengan gelak mengejek, menjadikan kobaran emosi di pupil sang putra semakin murka. "Ada hari di mana kau mabuk, lalu berkelahi dengan orang asing hingga mengacau dan merusak properti bar. Akan tetapi, keesokan harinya kau masih bisa bangun dan kuliah dengan tenang. Kau pikir siapa yang membereskan semua kekacauan yang pernah kau lakukan di sana?!"
Hyunjin menarik napas terkesiap, nalarnya mengilas balik kenangan itu seperti kaset rusak. Karena dalam lubuk hatinya, Hyunjin tahu bahwa selama ini hidupnya bergantung pada otoritas dan kemewahan keluarganya. Sebuah fakta paling pahit yang harus ia telan bulat-bulat melalui untaian kalimat menyakitkan yang baru saja dipaparkan sang ibu.
"Mama tahu kau sangat benci kalah dan terlihat lemah, Hyunjin. Jadi jangan pernah berpikir untuk meninggalkan posisimu sebagai direktur utama." Suara nyonya Hwang menginterupsi nalar Hyunjin yang melayang-layang tak karuan, kemudian wanita itu mengedikkan bahunya tak acuh. "—tapi kalau kau lebih senang hidup menggelandang, silakan saja!"
Ancaman ibunya memang tidak pernah main-main. Hyunjin pikir, mungkin lebih baik apabila dirinya mati.
***
Hyunjin menepikan mobilnya hanya untuk berdiri di tepi jembatan mapo dengan sebotol minuman pereda hangover yang ia beli di minimarket. Tiga gelas wine memang bukanlah apa-apa untuknya, namun akan menjadi apa-apa karena dirinya tengah berkendara. Hal ini merupakan kesalahan fatal yang Hyunjin pahami aturannya sejak awal, tapi ia sedang tidak ingin peduli tentang itu. Pupilnya hanya memandang lurus ke bawah, menikmati bagaimana air sungai mengalir dengan tenang, seakan menyapu segenap kehampaan dengan kehampaan lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Underlying Causes [hhj+jyi]
FanficYang Jeongin memang tidak bisa mengendalikan dunia. Akan tetapi, ia menggenggam Hwang Hyunjin yang punya segalanya. ⚠ BxB, Boys love. BAHASA || Series ©Minkyway.