spill

24.5K 422 63
                                    

Selamat siang, Om,” sapa seorang perempuan berpakaian seksi dengan dandanan yang melebihi umurnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat siang, Om,” sapa seorang perempuan berpakaian seksi dengan dandanan yang melebihi umurnya. Pak Arya tidak menanggapi sama sekali, tapi perempuan di depannya tidak gentar dan terus berjuang. Terus memperkenalkan diri dan meyakinkan bahwa dirinya adalah pilihan terbaik.
“Perkenalkan . Saya Jenni, Om. Jennifer Houston. Pacarnya Adit,” ucapnya bahagia. Sangat yakin bahwa hubungan mereka pasti direstui dan tidak ada halangan menghadang. Menatap wajah Adit yang sama bahagianya. “Saya kuliah di tempat yang sama dengan Adit. Kuliah mahal dan berkualitas.”
“Papa tahu dia anak siapa?” tanya Adit, tepatnya memberi tebakan. Dua sejoli yang jatuh cinta itu saling berpandangan kemudian tersenyum.
“Saya anak dari Zein Arassyha. Pengusaha keramik yang terkenal se-Indonesia. Bahkan sudah di ekspor ke berbagai negara.” Berpikir bahwa ketenaran orang tuanya mampu meluluhkan hati pria paruh baya di depannya sehingga perempuan seksi itu kembali tersenyum bangga.
Merasa tak dihiraukan sama sekali, Adit memotong perkenalan pacarnya. “Pa, Jenni sedang berbicara dengan Papa.”
“Papa kesini untuk bekerja, bukan menghadiri acara makan siang kalian.”
“Tapi dia ingin mengenal Papa lebih dekat,” ucap Adit dengan keras. Emosi melanda karena usahanya tak dihargai sama sekali. "Bisa kan menghargai sedikit saja."
“Kalau dia berpendidikan dan ingin kenal lebih dekat, harusnya dia tahu bagaimana cara berkenalan lebih dekat.” Perkataan Pak Arya menyentil Jenni dengan menekan kata lebih dekat lalu menatap dari atas ke bawah kemudian kembali sibuk dengan tabnya.
“Permisi ... pesanan Anda tuan dan nyonya,” ucap seorang pramusaji dengan lirih dan sopan. Membuyarkan perbincangan serius yang terjadi di sana. “Silakan dinikmati dan semoga membawa kebaikan.”
Belum sempat pramusaji itu melangkah, suara bariton menghentikan niatnya pergi. “Tunggu!”
“Ya, Tuan?” Dengan keraguan dan ketakutan mungkin melakukan kesalahan, ia membalikkan badan. “Apa ada yang kurang?”
“Tidak. Saya hanya mau menanyakan pendapat kamu tentang sesuatu. Apa kamu bersedia menjawab?” Pak Arya menutup tab yang dia bawa dan mengalihkan seluruh atensinya pada gadis pramusaji di depannya. Melipat tangan di dada dan mengubah wajahnya menjadi serius.
“Selama itu membuat tuan datang kesini lagi dan meramaikan kafe ini, saya bersedia,” jawab gadis pramusaji dengan binar bahagia. Semakin banyak pengunjung, maka gajinya akan bertambah. Jadi, jika hanya menjawab pertanyaan kecil tak apalah.
Pak Arya tidak menjawab, hanya tersenyum dan melanjutkan ucapannya. “Jika kamu jadi pacar anak saya dan ingin kenal lebih dekat dengan saya, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Pak Arya dengan raut wajah datar.
“M ... maksud, Tuan?” Tersenyum canggung dan menggaruk pelipis yang berkeringat. Jantungnya berdetak cepat karena rasa takut. Sinyal perang dunia tiba-tiba berubah menjadi 4G.
“Itu anak saya,” ucapnya sambil menunjuk Adit yang menatapnya tajam. “Apa yang akan kamu lakukan?”
Menelan ludah pahit dan merasa terpojok seperti pencuri, gadis pramusaji itu menjawab, “Saya akan berunding terlebih dahulu dengan pacar saya untuk menyiapkan dinner spesial dengan tuan dan juga membawa bingkisan sebagai tanda perkenalan.”
“Kenapa harus dinner?”
“Karena kebanyakan orang akan luang di waktu malam. Mereka butuh penyegaran diri dan otak karena seharian berkutat dengan pekerjaan sehingga dinner merupakan waktu yang pas. Lagi pula perbincangan di malam hari akan lebih lama dan lebih santai sehingga bisa mengenal satu sama lain dengan baik.”
"Kenapa harus membawa bingkisan? Kamu mau menyogok saya?" tanya Pak Arya lagi.
"Bingkisan itu cinderamata. Selain untuk mempererat suatu hubungan, bingkisan juga mempunyai arti bahwa kita tidak pelit atau perhitungan."
“Lalu bajumu?”
“Baju?” tanya sang pramusaji dengan raut bingung serta ketakutan. Tersenyum kaku, ia menjawab, “Saya akan pilih baju sopan,” ucapnya melirik sang gadis seksi.
“Sopan seperti apa?”
Ah, yang jadi calon mantu siapa yang diinterogasi siapa. Gadis pramusaji membuang napas kasar. Ia tahu perbincangan ini akan panjang dan ia juga tahu apa maksud orang tua di depannya ini. Sangat menyakitkan caranya, tapi mau tidak mau dia harus tetap menjawab sebagai tanda sopan dan demi gaji, eh kafe. “Sopan dalam artian tidak memakai baju terlalu terbuka.”
“Alasannya?”
“Alasan?” Melihat Pak Arya mengangguk membuat gadis pramusaji kembali berucap, “karena Pertemuan pertama itu penting. Kesan yang ditinggalkan harus benar-benar membuat orang tua dari pacarnya berpikir bahwa dia memang terbaik. Menunjukkan betapa dia layak untuk mendampingi. Selain menggambarkan kepribadian kita, itu juga menentukan keputusan selanjutnya.”
Tepuk tangan datang dari Pak Arya. Menatap gadis pramusaji di depannya dengan senyum puas dan bangga. “Siapa namamu?”
“Saya?” tanya gadis itu dengan menunjuk dirinya sendiri. Melihat Pak Arya mengangguk, gadis itu menyebutkan namanya, “Alma.”
“Kamu boleh pergi,” perintah Pak Arya.
Setelah kepergian gadis pramusaji itu Adit menggebrak meja, geram dengan sikap Papanya yang terlihat tidak menghargai dan menganggap keberadaan Jenni. Bahkan dia lebih memilih memuji seorang pramusaji. Yang artinya merendahkan harga diri Jenni. Adit sangat geram dengan sikap papanya yang merasa sangat penting dan paling benar.
“Apa maksud Papa tadi? Secara tidak langsung Papa itu menghina sekaligus menolak Jenni,” kesal Adit. Tidak terima dengan sikap Papanya itu.
“Apa yang salah?” Pak Arya kembali bertanya seolah tidak terjadi apa-apa. “Jika pramusaji itu lebih baik, Papa setuju dia yang jadi pacar kamu atau langsung nikahi saja. Dia lebih berkelas.” Setelah mengucapkan itu Pak Arya pergi. Meninggalkan dua insan yang saling cinta itu frustrasi berat.


***




Ting.
Bunyi pesan dari ponsel canggih milik Arya Hananta Hutama membelah kesunyian. Sang pemilik masih enggan beranjak dari kesibukannya memeriksa laporan. Di usia tuanya dia masih harus berkutat dengan kertas menyebalkan yang bernilai fantastik. Seharusnya Adit yang melakukan semua ini. Menggantikan posisinya dan membiarkan ia bersantai di teras dengan menatap langit mengenang masa lalu. Hembusan napas kasar keluar dari hidung Pak Arya.
‘Tok tok tok.’
“Masuk,” ucap Pak Arya tanpa mengalihkan tatapannya. “Dimana dia?”
“Red cafe.”
“Berapa malam ini?”
“Dua puluh juta.”
Pak Arya menganggukkan kepalanya. Tanpa membuka ponselnya dia tahu itu adalah pemberitahuan berapa nilai yang digesek anak semata wayangnya. Namun, dia enggan membuka karena yakin Pak Heri, sekretarisnya akan mengabari secepat mungkin.
Pak Arya beranjak dari kursi kebesaran miliknya. Memakai jas lalu berjalan ke pintu. “Mari kita beri Adit kejutan.” Setelah mengucapkan itu Pak Arya dan Pak Heri berjalan keluar kantor.
Sembari menunggu Pak Heri mengambil mobil, Pak Arya menunggu di lobi. Menekan nomor dan menunggu sambungan. “Ikuti saya.”
Tepat setelah itu Pak Heri datang. Mobil melaju membelah keramaian ibu kota. Lalu lalang orang dengan kendaraan masing-masing memenuhi badan jalan. Lampu warna-warni yang menyala menghiasi malam yang gelap. Pikiran Pak Arya melayang ke beberapa tahun silam. Dimana dia begitu bahagia menggendong putra pertamanya. Menemaninya bermain dan bercanda mengelilingi rumah. Berlari ke sana-kemari tertawa bahagia. Namun, kebahagiaan itu sirna kala penyakit merenggut nyawa sang isteri. Penyakit kanker payudara stadium empat. Andai waktu itu dia kaya, punya banyak uang dan harta melimpah seperti saat ini, mungkin dia masih bisa melihat senyum istrinya. Merawat dan membesarkan bersama putra mereka. Menjadi anak yang berbakti dan bisa diandalkan.
“Dulu aku berpikir alasan aku kehilangan istriku adalah karena aku miskin. Ternyata, kekayaan ini juga lah yang membuat aku kehilangan anakku,” ucapnya lirih. Mata Pak Arya berembun. Dia sangat menyayangi Adit, tapi putranya tak mau mengerti. Setiap perhatian yang diberikan olehnya selalu tak dianggap.
“Kita sudah sampai, Pak,” ucap Pak Heri membuyarkan lamunan bosnya. Terlalu lama bekerja dengan Pak Arya, Pak Heri tahu betul bagaimana hubungan anak dan orang tua itu. Namun, bukan wilayah Pak Heri untuk berkomentar ataupun ikut campur.
Menghela napas sejenak, Pak Arya turun. “Terima kasih Heri. Kamu sudah banyak membantuku.”
“Sama-sama, Pak. Apa saya ikut masuk?” Maklum di belakang Pak Arya sudah ada tiga pengawal. Jadi, menanyakan itu adalah hal wajar.
“Tunggu di sini saja.”
“Baik, Pak.”
"Adit pasti suka dengan kejutan ini."










AFFAIR WITH MERTUA  (Pindah Ke Kubaca)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang