Nama ku Nirwana Utara. Aku tidak punya panggilan khusus selain Nira—panggilan ku di sekolah—Atau Ara—panggilan orang di rumahku—hanya itu saja, sebelum Sean Rangga Adira memanggil ku dengan panggilan An.
Cowok yang sudah entah berapa lama, menghilang ditelan masa remajanya, lalu kini kembali muncul dan mendaftar ke SMA yang sama dengan ku. Saat itu aku melihatnya mengantri beberapa meter di depan ku, masih dengan seragam putih biru nya yang sengaja dikeluarkan. Aku tak ambil banyak peduli, karena memang tidak mau mengenalnya lebih jauh, dari batas hanya tetangga beberapa blok dari rumah ku.
Aku mungkin saat itu terlampau memperhatikan Sean, hingga lelaki itu membalas tatapanku dengan senyuman serta hampir melambaikan tangannya, kalau saja teman yang berbaris di depannya tidak keburu memanggil namanya.
Seingat ku, saat itu aku tidak banyak bertemu dengannya lagi. Mungkin karena kami sama-sama sibuk mengurusi persoalan mendaftar sekolah. Namun saat aku sedang menunggu Mas Faris—kakak sepupuku—Sean datang bersamaan dengan motornya.
"Lo pulang sendiri Ra?" Aku ingat, kala itu ia masih memanggil nama ku selayaknya orang-orang rumah memanggilku—Ara.
"Enggak, gue sama mas Faris, ini lagi nunggu dia ambil motor di parkiran."
"Oh, gue juga gak sendiri. Gue sama ibu." Aku memandang nya heran dan sedikit mengerutkan kening. Aku tidak bertanya.
"Ra, ayo." Aku menghembuskan napas lega—hembusan terpanjang Minggu ini—bersamaan dengan datangnya mas Faris.
"Iya. Gue duluan Sen."
"Iya, hati-hati."
Aku mengingatnya, senyuman yang entah kenapa terlihat sangat aneh kala itu. Sedikit ku bercerita tentang pribadi Sean yang memang berbanding terbalik dengan apa yang kalian lihat hari ini.
Sean Rangga Adira, atau sebut saja pembuat onar. Aku memang belum mengenalnya sebanyak adikku—Rafa—mengenalnya, tapi aku bisa menilainya lebih baik daripada adikku. Cowok yang mendedikasikan hampir seluruh waktunya untuk bermain. Aku juga sering mendengar kabar burung tentang kenakalannya, dari para tetangga. Tidak, bukannya aku ikut bergosip dengan ibu-ibu dekat rumah ku, namun topik tentang Sean memang menjadi topik paling hidup yang siapapun bisa dengar meski sedang tak fokus. Aku tak perlu menyebutkan satu persatu kenakalannya, cukup kalian tahu sebatas dia pembuat onar.
S.E•A.N
kayaknya cukup ya, kenalan sama Sean dan juga Nirwana?Aduh, kalau kalian tanya, ini beneran kisah nyata atau enggak. Saya bingung mau jawab gimana.
Tapi iya, ini kisah saya. Kisah yang akhirnya menggantung. Nanti diakhir kalian akan merasa super greget, sama seperti saya sekarang ini.
Disclaimer! Latar cerita ini, sedikit saya bedain supaya doi, enggak terlalu sadar bahwa cerita ini terinspirasi dan didekasikan penuh untuk dia. Tapi karakter dan juga alur ceritanya, akan saya usahakan sama dengan apa yang memang terjadi.
Semua cerita cinta, baik yang berakhir bahagia, menyedihkan, maupun menggantung, tetap layak untuk dikenang. Aku tidak mau menghakimi siapapun, terutama kamu, yang membuat cerita kita hanya berakhir dibatas yang entah sudah sampai mana.
Meski kebanyakan waktu, hanya aku yang meramaikan cerita ini, sedang kamu hanya memulai dan mengakhiri nya, aku tetap senang mengenal mu.
Bukan, bukan hanya dari mereka yang secara tidak ku minta, sudah repot-repot memperkenalkan mu pada ku. Tapi aku mengenalmu, karena memang kamu yang memperkenalkan diri.
Terimakasih, aku suka ceritamu, aku tidak menyesal mengenal mu. Dan jika kita bisa kembali menjadi kita yang lebih sederhana seperti dulu, aku mau. Tidak harus menjadi pacar, jika memang itu memberatkan kita berdua.
Hanya sampai pada batas teman saja. Aku tidak keberatan.
Tertanda;
An.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog
RandomBased on true story' Aku menyesap kopi hitam ku, sedikit terpejam kala rasa pahit itu mengalir melewati tenggorokan ku dan akhirnya mendarat di atas lambungku. Aku berumur dua puluh tiga kini, wanita sibuk dengan puluhan berkas yang batas waktu peng...