(Entah) ini harus ku sebut kebetulan—lagi—atau tidak, tapi aku kembali terjebak dalam latar dan atmosfer yang sama dengan Sean. Bukan hanya di kelas, tapi 'kebetulan kembali mempertemukan kami di perpustakaan, terjebak dalam badai hujan sore itu.
Hahaha, aku mengatakan ini seolah aku dan dia memang sudah diatur sedemikian rupa oleh takdir untuk selalu bertemu di manapun kami berada. Tapi kenyataannya, aku lebih senang menyebutnya sebagai kebetulan yang lainnya.
Sebenarnya sore itu, aku dan Sean hanya perlu mengembalikan buku paket yang tadi dipakai oleh anak kelas kami, kembali ke perpustakaan. Namun sayang, tepat setelah kami selesai menyusun semua buku kembali ke tempatnya masing-masing, hujan turun sangat deras. Tak memberi kesempatan bagi kami untuk ikut pulang bersama dengan hampir seluruh siswa sore hari itu. Sedangkan sisanya, ada yang bernasib sama seperti kami. Terjebak hujan yang entah kapan akan berhenti.
"Tahu enggak, kalo hujan begini, kuntilanak juga ikut berteduh ke dalam rumah." Sean mulai bercerita, meskipun tanpa ku minta.
"Lo bisa enggak, gak usah cerita begitu, disaat gue lagi kelimpungan cari cara biar bisa pulang?"
"Gue cuma ngasih tahu aja, siapa tahu berguna." Mataku meliriknya tajam, sedang ia mengalihkan hampir seluruh pandangannya ke arah jendela luar.
Jam sudah menunjukkan hampir jam setengah enam sore, namun hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Pikiranku buntu. Diam-diam aku mengutuk pak Angga yang menyuruh ku mengembalikan buku ke perpustakaan. Andai tadi aku menolak—meskipun mungkin nanti nilai kepribadian ku di raport akan dipertaruhkan—mungkin saat ini aku sedang tiduran di kasur ku yang nyaman, dengan buku novel menemaniku sepanjang hujan.
"Mau nerobos hujan aja?" Sean tiba-tiba memberikan sebuah ide, yang sudah pasti akan ku tolak mentah-mentah.
"Gak bisa, nanti bukunya basah."
"Ya daripada lo panik begitu?"
"Ya soalnya udah mau Maghrib, tapi hujannya masih awet begini. Gimana gak panik coba?" Setelah itu hening untuk beberapa saat. Kami sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Entah apa yang ada dipikiran Sean, tapi kalau kalian bertanya apa yang ada pikiranku saat ini, itu jelas tentang cara keluar dari kecanggungan ini dan pulang ke rumah.
"Daerah sekitar gang kita banyak berubah ya An?" Tubuhku serasa membeku. Sepertinya Sean paling tahu caranya membuat aku salah paham.
"An?"
"Iya, An, Nirwana." Tanpa sadar aku terkekeh, sedikit kagum dengan caranya memanggilku melalui cara yang berbeda.
"Iya, gang kita emang banyak yang berubah Di,"
"Di?"
"Iya, Di, Adira."
"Ah, jangan panggil Adira."
"Kenapa? Gak keren, lebih keren Sean tampan."
"Dih, geer!"
"Lo aja yang gak tau. Padahal hampir seluruh umat manusia, panggil gue Sean tampan dan pemberani!"
"Manusia mana yang panggil begitu? Kok gue gak kenal?"
"Makanya, main yang jauh An. Jangan cuma di sekitar doang!"
"Apaan sih, gue gak mau main jauh-jauh, entar bandel kayak lo!"
"Dih, gue mah anak baik dan tidak sombong. Dulu tuh, baru, gue pemuda tersesat. Tapi kalo sekarang udah enggak."
"Pemuda tersesat gimana?"
S.E•A.N
Gapapa ya, berakhir dengan 500 kata lagi?
Tapi Minggu depan, janji lebih panjang kok. Kan Sean mau cerita, jadi bakal panjang banget sih.
Oh ya, saya penasaran, sampai sini, gimana sih perasaan kalian tentang cerita ini?
Bosen kah? Klise kah? Atau gimana? Saya penasaran banget. Kasih komentar ya, biar saya tahu gimana perasaan kalian.
Ya udah segini aja pidato dari saya.
Peluk cium dari Greentea Arka 👐😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog
RandomBased on true story' Aku menyesap kopi hitam ku, sedikit terpejam kala rasa pahit itu mengalir melewati tenggorokan ku dan akhirnya mendarat di atas lambungku. Aku berumur dua puluh tiga kini, wanita sibuk dengan puluhan berkas yang batas waktu peng...