Aku menyusuri koridor gedung fakultasku sambil mengikuti arah datangnya cahaya matahari. Aku datang kepagian. Koridor masih terang-benderang karena lampu malam belum dimatikan. Udara pagi masih segar. Sesekali aku mendengar burung berkicau yang berasal dari taman fakultas.
Aku memutuskan untuk pergi ke sana, dan menunggu hari semakin siang di sana. Aku tak punya teman dari sekolah lamaku masuk ke fakultas yang sama, jadi hanya ada diriku seorang.
Setelah menyusuri jalan selama lima menit, di penghujung koridor, aku menemukan mesin minuman otomatis yang letaknya begitu strategis.
Mesin minuman otomatis adalah hal baru yang aku lihat di dunia perkuliahan. Aku memandanginya selama lima menit, sambil menggenggam uang recehan di tangan kananku. Kurasakan teksturnya satu persatu sambil menghitung berapa total uang yang kupunya. Setelah hitunganku selesai, aku menyimpulkan aku hanya bisa membeli sebotol air mineral.
Mesin minuman dengan nuansa merah dan merk minuman soda yang menghiasi permukaannya tampak berdiri megah di koridor dekat taman, tempat di mana aku berada. Aku begitu kagum karena sebelumnya, semasa SMA, aku tak pernah melihat ada sekolah yang menyediakan mesin minuman otomatis di koridor mereka.
"Lo bisa pake mesinnya, 'kan?"
Suara itu datang padaku dari arah timur. Sinar matahari pagi membuat bayangan tubuhnya memanjang ke arah barat, melewati ubin putih kusam yang ada di hadapanku. Aku menoleh, menatap parasnya. Dalam sekali lihat, aku tahu dia tinggal di pusat kota.
"Bisa," ujarku beberapa detik berselang.
Di hadapanku sekarang, bukanlah lagi mesin minuman otomatis berwarna merah cerah, tetapi seorang gadis dengan rok putih selutut. Baju seragam SMA dia padukan dengan kardigan cokelat yang kuperkirakan harganya setengah harga uang kuliahku satu semester. Aku memang berasal dari kota kecil, tapi aku tahu merk pakaian mahal yang ia gunakan. Begitu pula sepatunya, merk yang selalu aku temui barang palsunya di pasar dekat rumah.
Surainya pendek bergelombang. Rambut poninya dia sampirkan ke belakang daun telinganya. Matanya kecil dan bulat, hidungnya indah berbentuk segitiga siku-siku, pipinya tirus, dan garis rahangnya tegas. Wajahnya manis dan mungil. Wajah tercantik yang pernah kulihat seumur hidupku.
Rasanya aku jadi ingin mengenalnya lebih jauh.
"Terus kenapa diem di situ? Gue liatin lo diem hampir tujuh menit," dia bilang lagi sambil menunjuk posisiku.
"Uangku enggak cukup," ujarku jujur.
"Bro?"
"Huh?"
"Masa,"
"Serius,"
Dia mengerenyitkan alis, "Yang bener aja,"
Dia lalu melangkahkan kakinya mendekati aku, mengeluarkan ponselnya dari saku kardigan mahal itu. Kutebak, harga ponselnya lebih mahal dari harga laptopku. Mungkin bisa beberapa kali lipatnya. Logo buah yang digigit itu seakan memberikan aku informasi tentang berapa harga ponselnya.
Aku mundur selangkah karena dia mengambil alih mesin itu. Dari dekat, wangi tubuhnya tercium, harum semerbak, bukan wangi bunga yang dewasa, lebih ke wangi remaja yang segar. Kalau jenis parfumnya aku kurang tahu.
"Mau gue ajarin cara pakenya?" ujarnya sambil menoleh. Tubuhnya lebih tinggi dariku sekitar lima senti, jadi dia menunduk, sedangkan aku mengadah agar kedua mata kami bertemu.
"Nggak. Aku udah tau, kok,"
"Gue-lo aja, dong, rada aneh rasanya,"
"Nanti aku yang aneh,"

KAMU SEDANG MEMBACA
Here Comes the Sun
FanfictionSetelah berteman baik dengan Sean, aku menyadari bahwa musik dapat menyimpan memori. Terlepas dari genre musiknya, alunan yang menyenangkan atau sendu, adanya memori akan mengubah pandanganku pada musik itu. Setiap kali musik itu terputar, maka memo...