02

42 2 0
                                    

Setelah masa orientasi selesai, perkuliahan dimulai. Tak ada yang spesial di hari pertama kuliah, kebanyakan hanya basa-basi, perkenalan, dan dosen membicarakan tentang perjanjian selama satu semester. Pada siang harinya, aku memutuskan untuk pergi ke Fakultas Teknik, bersama kenalan baruku, namanya Gladys. Gladys adalah orang dari pinggiran kota sama sepertiku, jadi kami satu frekuensi. Tak seperti Sean, Gladys seumuran denganku.

Gladys bilang, dia dapat info dari kakaknya yang kuliah di fakultas teknik. Katanya, kantin fakultas teknik memiliki menu yang beragam dan enak-enak. Jadi kami ingin mencobanya. Gladys juga lebih hapal tata letak gedung fakultas teknik dibanding fakultas kami.

"Mau makan apa?" tanya Gladys padaku.

Aku balas gelengan kepala dan gumaman panjang, "Nggak tahu. Bingung,"

"Sama. Gara-gara banyak pilihan,"

"Iya,"

"Balik lagi ke sastra?"

"Males, jauh,"

"Bener sih,"

Kami terdiam lagi. Aku dan Gladys memandangi spanduk kantin satu persatu, berusaha menemukan makanan yang cocok untuk kami. Gladys sibuk melihat ke arah kiri, sedangkan aku ke arah kanan. Mataku terpaku pada spanduk berwarna kuning cerah, seperti baru dipasang kemarin. Tak kusam dan tak bernoda.

Aku membaca menunya secara menurun. Menu makan siang khas rumah makan. Harga-harganya sangat ramah kantong pula.

"Bakso sama jus alpukat siang-siang gini enak, ya,"

"Kalau kataku enakan ketoprak,"

"Ketoprak beli di mana?"

Aku menunjuk kantin yang menjadi incaranku Kantinnya terletak dua dari pojok kanan, "Itu,"

"Ada meja kosong?"

"Pasti ada,"

"Tau dari mana ada?"

"Menurutku ada aja,"

Gladys tetap dengan keputusan awalnya membeli bakso dan jus alpukat, sedangkan aku melipir ke kantin pojok untuk membeli ketoprak. Aku melengkapi ketoprak itu dengan air mineral, dan menunggu ketoprakku dibuatkan sambil memeluk air mineral dinginku di sikut kanan. Si Ibu penjual dengan telaten memasukkan segala bahan-bahan yang dibutuhkan, tanpa dia ukur terlebih dahulu.

Aku suka sekali memperhatikan hal sederhana seperti ini, sebab hal-hal yang jarang diperhatikan orang lain akibat tak terlalu penting, bagiku, justru bisa membuat hari-hariku lebih berarti.

"Soleil,"

Aku menoleh, mendapati seorang gadis dihadapanku.

"Sol aja cukup," aku menjawab panggilannya.

Aku serasa mengenalinya. Tapi aku ragu. Aku ragu karena warna rambutnya yang di luar dugaanku.

Dia seakan paham ekspresi bingungku, dia lalu tersenyum singgung, "Ini Sean,"

"Oh. Rambutmu agak..."

Sean tersenyum kikuk, lalu dia melilitkan jari telunjuknya diantara surainya yang ikal dan kini sudah berwarna putih di bagian dalamnya, "Yah. Gue warnain rambut kemarin sore,"

"Keren,"

"Makasih,"

"Tapi kenapa cuma bagian dalamnya aja?"

"Biar enggak mencolok,"

Aku bergumam tanda mengerti.

Sean kali ini tersenyum menatapku selama beberapa detik. Aku tak bisa memalingkan wajahku darinya, karena gaya pakaiannya amat berbeda dari yang aku bayangkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Here Comes the SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang