33

3.1K 178 0
                                    

"Jadi gimana? Kapan kamu berencana menikah?"

"Me-menikah?"

"Iya. Sejak berita kau punya tunangan di acara syukuran waktu lalu, sejak itu pula Papi dihantui dengan pertanyaan-pertanyaan kapan kau akan segera melangsungkan pernikahan."

Seketika Anta memijit keningnya. Baru saja ia pulang dari rumah Aya, kini dihadapannya telah hadir sang Ayah yang tiba-tiba mengunjunginya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

"Papi kemari hanya menanyakan hal itu?" sinisnya.

"Anta! Jangan mengalihkan pembicaraan!"

"Ayolah, Pi. Kesepakatan kita kan hanya sampai Anta memiliki tunangan bukan? Papi gak berhak lagi memaksa Anta ini dan itu, terlebih lagi masalah pernikahan."

"Oke-oke! Papi gak akan maksa. Tapi, kita harus makan malam bersama pekan depan. Jangan lupa bawa tunanganmu. Kau tidak akan menolak hal yang satu ini bukan?"

Anta mengusap wajahnya dengan kasar. Baiklah, Anta akui bahwa ia memang selalu kalah berdebat dengan sang Ayah. Tanpa berkata iya pun, kesepakatan itu telah terjadi. Tak butuh waktu lama, ayah Anta telah berlalu meninggalkan Anta seorang diri. Hal itu membuat Anta semakin gila saja. Bagaimana bisa membujuk Aya makan malam bersama dengan orang tuanya, bagaimana bisa bersandirwara layaknya sepasang kekasih, dan bagaimana bisa meyakinkan semua orang untuk tak ingin menikah dalam waktu dekat ini karena ia yakin di acara makan malam itu bukan makan malam biasa, melainka makan malam yang akan membujuk Aya untuk mendesak dirinya menikah.

Anta yakin, Aya pasti ogah-ogahan menerimanya. Sejujurnya yang ia khwatirkan adalah sikap Aya yang blak-blakan itu bukan gak mungkin malah merusak sandiwara mereka jikalau sebenarnya mereka bukanlah hubungan sepasang kekasih melainkan hubungan antara mahasiswa dan dosen.

Anta menggeram. Meluapkan emosinya.

Ia tak tahu harus berkata dan melakukan rencana apa lagi.

***

Malam yang indah dengan taburan kerlap-kerlip bintang serta bulan bulat sempurna nyatanya tak bisa mewakili perasaan Aya malam ini. Tubuh mungilnya masih duduk tegap di kursi meja belajarnya sembali mencoret-coret lembaran entah itu apa.

Kacamata kotaknya bertengger di hidungnya, yang sewaktu-waktu bisa merosot karena hidungnya pesek.

"Aya, makan malam dulu, yuk!" ajak Bunda tiba-tiba berdiri di depan pintu kamar Aya.

"Bentar, Bund. Tanggung ini," jawabnya tanpa menoleh sedikitpun.

Bunda pun menghela napas panjang, kemudian geleng-geleng kepala. Ini ketiga kalinya ia memanggil putrinya untuk makan malam sejak dua jam yang lalu.

Selepas kepergian Bunda, Aya tetap menekuni pekerjaannya dengan senang hati diiringi lagu boy band favoritnya. Sesekali ia bersenandung tidak jelas lantara liriknya memang gak Indonesia banget. Hingga tiba-tiba, sering ponselnya mengacaukan semuanya. Membuat Aya menjadi frustrasi.

"Aduh, siapa pula malam-malam gini gangguin orang. Nih orang punya tata krama atau gimana sih," omelnya menghentikan aktivitasnya.

Meski sedikit enggan, nyatanya ia meraih juga ponselnya dan menjawab panggilan masuk tersebut.

"Halo!"

"Aya, kamu ada waktu buat besok?"

"Waktu? Gak adalah, lah waktu Aya Cuma dihabisin buat ngerjain kerjaan bapak."

"Kamu masih periksa lembaran mahasiswa saya?"

"Yee, pake nanya lagi. Ya iyalah."

"Oke, besok lanjut lagi di rumah saya. Sekarang kamu istirahat."

"eh, maksudnya gimana ya?"

"Besok habis perkuliahan, saya jemput kamu di depan fakultas buat ke rumah saya."

"Hah?"

"Oke, saya tutup ya."

"Hei! Gua gak bilang iya," protes Aya.

"Selamat malam, Aya!" tutup Anta tanpa mendengar tanggapan Aya.

"Apa sih, malah dimatiin" gerutu Aya. Sekali ia coba menelepon balik, sayang seribu sayang nomor Anta sudah tak bisa dihubungi lagi.

"OMG! Cobaan apa lagi ini!" Aya menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

***

Dosen Pak Setan! || SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang