Jimin
Dari sepenggal gelang tridatu yang disematkan Jeongguk di tangan, Jimin bisa membaui aroma pemuda itu yang tertinggal. Perpaduan warna hitam, merah, dan putih terlampau mencolok di pergelangan tangannya yang hampir selalu kosong. Perpaduan dari kembang dan teduhnya aroma pepohonan jadi campuran yang pas pada pribadi Jeongguk yang ramah, penuh cerita, tapi juga misterius dan tidak mudah ditebak. Beberapa kali Jimin diingatkan dalam tidurnya yang panjang. Soal mengapa Jeongguk memilih untuk menetap di sisinya di waktu yang lama. Bukan karena tubuh ini atau alasan masuk akal lainnya. Pemuda itu terang-terangan berkata kalau ia justru menaruh penasaran pada penciuman Jimin yang tidak ada normal-normalnya.
"Jimin, awas!" Suara salah satu kawan kerjanya datang dari arah kanan. Menyusul iringan gelindingan roda keranjang yang menggelinding tidak beraturan. Untuk menoleh saja, Jimin tidak diijinkan. Keranjang dorong berisikan beberapa kotak kardus yang entah apa isinya itu menembus angin dan berhasil menghantam tubuh Jimin yang tidak tahu apa-apa. Entah harus bersyukur atau tidak, rak mi instan menyelamatkan badan Jimin supaya tidak terus menerus terseret oleh keranjang sialan itu. "Jimin!"
Seluruh tubuh sudah mati rasa dan cuma bersisa nyeri dari ujung kepala sampai kaki. Posisinya yang terhantam dengan keadaan masih duduk, menjadikannya serba salah. Bergerak sedikit, sakit. Tidak bergerak, sama saja membuat orang lain khawatir. "Tidak apa-apa, kok, Bam," bisik Jimin berusaha untuk tidak merintih. Sekuat tenaga ia kumpulkan sisa-sisa energi sarapan pagi ini. Jangan sampai karena kejadian ini, semua orang jadi menaruh iba. Tidak. Jimin benci dengan tatapan belas kasihan orang-orang. Sudah cukup rasanya selama ini. Semua yang tahu kisahnya selalu merasa bahwa Jimin membutuhkan nasehat atau sekadar penyemangat untuk bangkit. Padahal Jimin cuma butuh dibiarkan sendiri.
"Tidak apa-apa, bagaimana? Ke ini!" Selain Bambam, beberapa berhambur membantu Jimin untuk berdiri. Mendudukkan tubuh lelaki itu di balik meja kasir yang lebih aman dan jauh dari pandangan orang. "Kita ke rumah sakit, ya? Takutnya ada apa-apa sama tulangmu."
Jimin menggeleng kuat-kuat. Dipikir-pikir, rasanya ia apes betul. Demam kemarin, ia masih bisa ditolong oleh Jeongguk yang dengan sukarela meluangkan waktu untuk mengurus segala sesuatu di dalam kosnya. Kalau sampai Jeongguk melihatnya babak belur atau bahkan sampai ada di rumah sakit, Jimin tidak mau membayangkan bagaimana reaksi pemuda itu.
"Tidak usah mikir biayanya nanti bagaimana. Biar aku yang tanggung!"
"Tidak perlu, Bam. Terimakasih." Meski kesusahan menolak karena beberapa kemungkinan muncul di dalam kepala Jimin, ia tetap harus mengedepankan pendapatnya kali ini. Dilarikan ke rumah sakit berarti harus menanggung biaya yang entah berapa. Belum lagi kalau Jeongguk atau Hoseok nanti datang ke kos dengan keadaan beberapa bagian tubuhnya yang harus diplester karena luka. Dua orang itu punya kepribadian bertolak belakang tapi bisa lakukan hal yang serupa. Khawatir berlebihan pada Jimin. "Tolong ambilkan plester kecil saja."
"Ke ku antar ke rumah sakit saja, lah!"
"Tidak usah, Bam."
Kalimat itu justru mengantarkannya di atas kursi roda rumah sakit. Celingukan ke pintu kamar, beberapa pasien lalu-lalang, dan kumpulan suster yang sibuk membawa papan dada tertelungkup sambil dipeluk. Masuk ke salah satu ruang rawat jalan, ia disambut oleh dokter umum berkacamata dan punya wajah ramah. Menanyainya perihal bagian mana yang sakit dan mana yang masih mati rasa. Jimin bisa rasakan kalau lengannya ngilu betul sewaktu dipegang. Tanda kalau ada yang tidak beres. Punggung pun rasanya hendak copot saja. Seperti baru saja ditekan pakai palu raksasa. Bedanya, ia tidak bisa lihat jelas bagaimana rupanya.
"Mau foto x-ray saja? Takutnya nanti bisa ngilu lebih lama, kan?" Sang dokter berbaik hati menekan-nekan pelataran kulit yang membalut otot dan tulang Jimin. Sakit betul rasanya. "Ada saudara atau keluarga?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewananda [kookmin]
Fanfiction[ ON REVISION WITH ADDITION SCENE ] : KookMin Indonesian's Mythology: Legenda Naga Basuki Ia tidak pernah menanti sebuah ampunan yang datang dari Sang Hyang Widhi. Biarlah nanti ia menerangi jalannya sendiri. Tapi mengapa sosok itu datang dan membua...