Prolog

102 9 2
                                    

PIALA ITU PUNYAKU!!” jerit seorang anak perempuan usia 5 tahun bernama Mentari

“Nggak ini punyaku, guru bilang ini punyaku!” elak anak lain

Dan terjadilah keributan antara kedua anak itu memperebutkan piala lomba mewarnai. Mentari tidak bisa menerima hasil keputusan juri, berakhir dirinya memaki sang juara lomba.

Dewi -ibu mentari- menatap jengkel ke arah putri nya. Ia menarik pergelangan tangan gadis kecil itu dengan sangat kuat. Membawanya menuju rumah.

Sesampainya di rumah ia mendorong tubuh kecil itu hingga tersungkur di lantai. Tidak memperdulikan si kecil yang sudah menangis sesenggukan.

Kedua tangan nya mencengkeram dagu putri manisnya, menekan nya kuat-kuat menghasilkan pekikan tertahan dari Mentari.

Kau mempermalukan ku anak sialan!” geram Dewi

Mentari hanya bisa diam dan menangis karena ini bukan kali pertama ibunya memperlakukan diri nya seperti ini.

Menang lomba saja tidak bisa, dasar tolol.” ucap Dewi mendorong kepala Mentari menggunakan jari telunjuknya selama beberapa kali

M - maaf, Ma.” isak Mentari

Apa? maaf? coba ulangi lagi yang jelas.” ucap Dewi seraya menjambak surai putrinya agar menatap wajahnya

Maaf.” ulang Mentari bersamaan dengan jatuhnya air mata

Maaf? nggak guna sama kaya kamu!” bentak nya

Dewi bangkit menyeret kembali Mentari menuju kamarnya. Dia mendudukan gadis kecil itu di depan meja belajar.

Belajar! kerjain pr kamu sekarang.” perintah nya penuh penekanan

Mentari mengangguk dan mulai membuka buku pelajaran nya. Jemari mungilnya gemetar memegang sebuah pensil. Ia menggigit bibirnya mati-matian menahan isak tangis.

Mentari menyerngit saat tiba-tiba kepalanya terasa sangat pusing. Tangan kanan nya meletakan pensil lalu memijit pelan keningnya.

Pandangan nya memburam, semuanya terlihat blur. Mentari menoleh ke arah Dewi yang sedang duduk di atas kasur. Meremat tangan nya pelan sebelum memutuskan angkat bicara, “Ma ....” cicitnya

Apa?!” jawab Dewi ketus

Uhm, belajarnya dilanjut nanti ya? kepala Mentari pusing banget, Ma.” mohon nya

Manja banget sih.” dengus Dewi

Mentari menunduk pandangannya kembali tertuju pada buku. Namun, tanpa sadar ia terisak karena kepalanya terasa semakin sakit dan tidak bisa di tahan lagi.

Dewi mendelik marah menghampiri mentari. Tangan nya melayangkan sebuah tamparan pada pipi putri kecilnya, meninggalkan jejak kemerahan yang kontras disana.

Diem! berisik tau nggak?!” sentaknya

Mentari mengangguk pelan. Ia membekap mulutnya sendiri menggunakan jemari kecilnya.

Dewi menyunggingkan senyum miring. Kaki nya berjalan menjauh, lalu tak lama ia kembali membawa sebilah rotan panjang dan langsung memukuli putrinya.

Mentari menjerit merasakan perih di kulitnya. Dia sudah mencoba memberontak tapi tenaganya jauh lebih kecil ketimbang sang ibu. Gadis malang itu hanya bisa pasrah.

Anak sialan.”

Harusnya kamu nggak terlahir ke dunia.”

Nyesel saya ngelahirin kamu.”

MENTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang