4 (end)

51 4 0
                                    

Patah hati ampuh untuk membuatku malas bangun tidur. Apalagi harus pergi ke sekolah. Lalu berada di kelas yang sama dengan si orang itu. Tapi orangtuaku takkan bisa diajak kompromi. Suhu tubuh ini normal dan wajahku pun tak terlihat pucat. Fisikku memang baik-baik saja, tapi batin tidak sama sekali.

Aku melangkah malas menuju sekolah. Tidak ada senyuman, tidak pula kepercayaan diri. Mentari yang bersinar seperti biasanya di musim semi ini, gagal menyalurkan cahayanya pada wajahku. Pohon sakura yang selalu kupandangi di setiap pagi ini, gagal menebarkan pesonanya yang akan direspon oleh mataku. Malah, aku merasa trauma dengan pohon itu!

Sudah sampai di kelas, Nonoka yang sudah berada di bangkunya terus memandangiku dari sejak memasuki ruangan ini. Tapi dia tak bertanya apa-apa. Setelah semalam aku curhat habis-habisan padanya, dia bisa memahami kondisiku sekarang. Dia pun tidak coba menghiburku. Karena akan sia-sia, aku sungguh tak berminat untuk melakukan apa-apa.

Aku berusaha untuk tak terpengaruh menengok ke arah yang paling sering menjadi perhatianku. Aku tidak marah dan membencinya karena jawaban itu adalah hak dia. Tapi dengan cara ini, lambat laun mungkin akan mengikis perasaan cintaku sampai habis.

Bel berbunyi. Semua murid menempati mejanya masing-masing. Sekitar dua menit kemudian, sang pengajar di mata pelajaran pertama tiba di kelas.

Ia menyapa, dan kami semua memberi salam.

“Huh! Malas sekali kalau harus meninggalkan kelas dan pergi ke ruang musik.” keluhku membatin. Sekarang waktunya pelajaran Seni Musik yang setiap kegiatan belajar-mengajarnya selalu dilakukan di ruang musik. Hiroomi-sensei sudah berada di depan tengah mengabsen siswa-siswi dulu.

Ia kemudian berdiri setelah urutan absen murid terakhir. Melangkah ke depan tepat di tengah-tengah antara meja kedua dan ketiga baris pertama.

“Semuanya, kali ini kita akan belajar di kelas saja.” Sensei memberi pengumuman.

“Ee? Tumben..”

“Kenapa Sensei?” Sano-kun menanyakan alasannya.

“Karena kita akan belajar tentang teori.” tandasnya.

“Oooo..” beberapa siswa-siswi menanggapi sama.

“Tapi!”

Ucapan Sensei terhenti. Apa yang sebenarnya akan dia katakan?

“Kita belajar tentang teori cinta.” satu kata itu ia lanjutkan menjadi sebuah kalimat yang utuh.

“Ey ey ey.. konsultasi di jam pelajaran kah?” sekarang Ken-chan coba menebak.

“Tidak, itu akan tetap dilakukan sesuai jadwal. Sekarang kita akan belajar teori cinta dari ini..” kemudian tangan Sensei menjelajah saku bagian dalam jasnya. Menunjukkan hasil dari penjelajahan itu.

Dari jarak bangkuku kini, sesuatu berbentuk bulat yang tidak sempurna tersimpan di telapak tangan Sensei yang terbuka. Tampak keriput-keriput pada sesuatu itu. Apaan sih?

Bukan hanya aku yang heran, murid lain pun bertanya-tanya. Sampai Sensei kemudian memberitahu lagi, “Yamashita, kau ingat ini kan?” Sensei mengarahkan tanya pada Ken-chan.

Dia menilik-nilik, “Itu.. bulatan kertas yang kemarin?”

“Benar sekali!” Sensei membalas sambil tersenyum.

Ingin tahukah apa yang selanjutnya terjadi? Si Ken-chan lalu menggebuk-gebuk meja dan bertingkah cukup rusuh lagi, “Aaaaaa!! Kertas itu!! Minna, dengarkan aku! Kemarin saat aku berkonsultasi dengan Sensei di salahsatu kursi panjang pinggir lapangan sepulang sekolah, tiba-tiba kertas sialan itu datang dari atas dan menimpuk kepalaku!” ucapnya heboh memandang kami semua seraya telunjuknya yang dia arahkan ke tangan Sensei.

Kanpeki na Haru, Sensei!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang