the undesired event

164 31 7
                                    

Gue ngerjap-ngerjap mata, sinar lampu agak mengusik tidur gue. Setelah gue bangkit, mata ini sontak membulat bingung, gue melongo. Seumur hidup nggak pernah lihat rumah kecil ini.

"Udah bangun?"

"Ha?" Gue bingung.

Ternyata Kinan. Cewek itu menenteng ember hitam dengan tulisan ember anti pecah. "Laper nggak?"

"Nggaklah! Lo mau ngeracunin gue, ya? Nawarin makan mulu,"

Dia nggak peduli, kata-kata gue diabaikan. Cewek itu natap gue datar lalu nempelin tangannya di jidat gue, "Udah turun,"

Gue jelas bingung dan kelabakan, tindakannya itu tiba-tiba banget bikin gue jadi kalang kabut. "Ngapain pegang-pegang!"

"Tadi kamu demam,"

"Oh," Gue berdeham canggung, "ini rumah lo?"

"Rumah ayah, aku belum dibolehin punya rumah sendiri." koreksinya.

"Iye itu maksudnya, gitu doang dibikin ribet," cecar gue. "kok rumah lo sepi?"

"Ayah tugas di luar kota, ibu ada sif malam, abang tinggal di asrama," katanya sambil nenteng ember, gue nggak tahu dia mau pergi ke mana, gue berasumsi cewek itu mau buang air di ember.

"Jadi lo sendiri di sini?"

"Iya,"

"Sedih amat," gumam gue. "kenapa lo nggak tinggal sama bapak lo aja daripada ditinggal sendirian terus?"

Kinan datang lalu meletak seporsi bubur di samping gue, cewek itu duduk bersila di depan gue, "Aku nggak bisa ninggalin ibu sendirian, ibu orangnya terlalu rapuh. Kalo nggak ada aku dan ayah, siapa lagi yang ngingetin makan, beresin rumah, dan nemenin ibu kalo sakit?"

"Ngeliat ibu sehat dan senyum ceria, bikin aku lega." Cewek itu tersenyum simpul dengan mata berbinar-binar, gue bisa langsung menebak kalau dia luar biasa sayang sama ibunya. Menurut gue, Kinan terlalu dewasa untuk cewek umur dua belas tahun.

"Emang mak bapak lo kerja apa?"

"Ayah angkatan laut, ibu perawat di rumah sakit deket sini,"

"Oh, pantesan..."

Gue jadi bertanya-tanya, apa Kinan nggak takut sendirian? Maksudnya, dia cuma anak SD yang ditinggal sendirian tanpa pengawasan orang tua?

"Minta jemput, gih. Udah malem." katanya lagi.

"Yeee, gue belum makan bubur!"

"Oh, iya. Silakan."

"Lo yang masak?" tanya gue sambil ngambil bubur.

Kinan ngangguk, "Iya."

"Awas ya kalo nggak enak, tanggung jawab sama perut gue!" Setelah mengancam, gue ngambil mangkok putih itu lalu menyantap bubur. Buburnya masih hangat dan yang paling mengesalkannya lagi adalah fakta anak dua belas tahun bisa masak bubur seenak ini.

"Lo nggak mau masuk MasterChef Junior?"

"Kenapa? Nggak enak, ya?"

Si bodoh, kayaknya dia nggak pernah nonton TV. Gue ngangguk, "Nggak enak sampe gue ngerasa lo perlu les di sana."

"Eh, jangan dimakan lagi, nanti sakit perut!"

"Bunda gue selalu ngajarin buat abisin makanan walau NGGAK ENAK," balas gue dengan penuh penekanan di akhir. "oh ya, ngomong-ngomong kok gue bisa di sini,"

"Kamu pingsan di jalan, aku juga bingung rumahmu di mana,"

"Lah terus gimana bawanya? Kan gue berat,"

"Berat apanya?" Alis Kinan menukik. "badan kamu kecil gitu."

Penghinaan berat. Gue langsung berhenti makan dan ngambil ponsel di saku. Pokoknya gue mau pulang, gue nggak mau berlama-lama di rumah gubuk yang nggak selevel sama gue. Poin paling penting, gue nggak mau lihat muka Kinan lagi!

"Wah, kamu punya HP," Kinan berdecak kagum.

"Lah, emang lo nggak punya?"

Kinan menggeleng, "Nggak,"

"Aneh. Nggak mungkin jaman sekarang ada yang nggak punya HP,"

"Kamu ya kamu, aku ya aku." balas Kinan.

Seharusnya gue senang dengan pencapaian ini. Gue dengan segala harta yang nggak dimiliki Kinan, tapi gue merasa nggak adil karena harta ini bukan hasil jerih payah kekuatan gue.

Nggak butuh waktu lama, Ayah dan Bunda akhirnya tiba di rumah Kinan. Ralat, rumah ayahnya Kinan. Ternyata orang tua gue udah nyari-nyariin dari sore tadi. Setelah orang tua gue pamitan sama Kinan, gue duduk diam di bangku belakang, masih mencerna seluruh kejadian hari ini.

"Kamu marah karena Bunda nggak nambah jadwal les?"

"Nggak,"

"Terus kenapa bolos hari ini? Kamu nggak pernah sekalipun bolos les apalagi matematika,"

"Pengen istirahat aja,"

"Akhirnya sadar juga."

Gue melirik ke jendela mobil, bangunan sekolah dengan lampu jalanan remang. Gue mengeryit bingung, "Kok kita ke sekolah malem-malem?"

"Ke sekolah apanya? Rumah temenmu pas di belakang sekolah, masa nggak nyadar?"

Gue mengembus napas frustrasi. Seharian ini nggak ada yang bisa diperoleh, yang gue tahu hanya Kinan bolak-balik jajan roti, rumahnya di belakang sekolah, dan kehidupan keluarganya. Nggak ada manfaat dari hasil penelitian hari ini.

"Ngomong-ngomong, temenmu tadi cantik banget," kata Bunda tiba-tiba.

"Biasa aja, dekil gitu. Tipikal orang desa, suka main panas matahari."

Terdengar ringisan dari Bunda, "Tapi feeling Bunda, gedenya bakal jadi cantik banget. Sebenernya dia udah cantik, tapi belum perawatan aja. Oh, kamu udah makan? Kata temenmu tadi kamu pingsan, mau makan apa malem ini?"

"Udah makan kok tadi,"

"Oh, Bundanya yang masak, ya?

"Nggak, dia sendirian."

"Hah? Bisa masak?"

Gue ngangguk, terlalu males nanggepin seribu satu pertanyaan dari nyonya paling bawel ini. Gue juga bisa dengar gumaman yang keluar dari mulut beliau. Ia bergumam, "Semoga dia mau jadi menantuku."

Geli banget dengernya.

when we were young. ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang