stage of denial

117 34 10
                                    

"Maksud lo apa?!"

Gue menggebrak meja Kinan, cewek itu nggak kaget justru tetap tenang masukin barang-barangnya ke dalam tas. Dia nggak balik nanya, Kinan bangkit dari kursi dan buru-buru pulang.

Demi Tuhan, gue dicuekin.

"Woy, orang lagi ngomong!" Gue teriak di koridor. Bodo amat, dari kemarin gue terus dapet penghinaan berat dari Kinan.

"Bukan kayak gitu etika ngajak ngomong," jawabnya.

Gue tertohok dikit lalu berdeham, "Lo," Jari telunjuk gue terangkat, "lo pasti mempermainkan gue, kan?"

Alis Kinan terangkat sebelah, dia bener-bener ngeremehin gue.

"Pertama, kenapa lo bolak-balik jajan, padahal rumah lo di belakang sekolah. Kedua, kenapa lo bolos les. Ketiga, kenapa- nggak, dua dulu aja."

Kinan mengembus napas kasar lalu megang erat tali sandang tasnya, "Pertama, terserah aku dong mau jajan atau nggak? Kedua, aku emang nggak les, aku selalu belajar sendiri di rumah. Ketiga, berenti ngikutin aku."

"Si-siapa yang ngikutin lo?! Ogah banget?!"

"Yaudah, bagus kalau begitu. Aku harap kemarin adalah yang pertama dan terakhir kamu ngikutin aku pulang."

Sialan, jadi selama ini dia tahu kalau gue ngikutin gerak-geriknya? Jadi itu alasan dia pulang sampe sore karena mau ngisengin gue?

"Tu-tunggu dulu!" Teriakan gue terbuang percuma, Kinan udah balik badan dan ninggalin gue panik sendirian di koridor ramai ini. Memang segala hal yang berhubungan sama Kinan cuma buat gue sensitif terus.

Tapi gue masih penasaran satu hal. Bagaimana bisa dia belajar sendiri tanpa bimbingan, tapi bisa ngalahin kepintaran gue yang udah belajar mati-matian sampe mimisan? Gue masih pengen meneliti lebih lanjut, gue yakin itu cuma tipu muslihat.

Sebelum Kinan pergi terlalu jauh, gue buru-buru ngambil semua barang di meja dan lari sekencang mungkin buat nyusul cewek badan bongsor itu. Di jalanan kali ini, gue ngambil jarak jauh supaya dia nggak sadar, tapi ada satu hal lagi yang terus mengusik gue setiap ngelihat sisi belakang Kinan.

"WOY KINAN!" Gue terpaksa manggil Kinan.

Cewek itu menoleh dan masih masang wajah datar, "Apa lagi?"

"Lo abis berak darah, ya?"

"Nggak, tuh?"

"Lah, itu belakang lo merah- oh..." Gue tersadar, tiba-tiba memori gue tentang pelajaran IPA langsung terbersit di pikiran. Cewek itu masih bingung dan bolak-balik berusaha melihat belakang.

"Ada apa, sih?"

"Nggak, bukan apa-apa. Lo langsung pulang aja,"

"Nggak bisa, hari ini aku mau beli-"

"PULANG GUE BILANG!" Gue buru-buru lepasin kemeja sekolah dan ngasih ke Kinan, "iket di pinggang lo."

"Buat apa? Terus kamu ngapain lepas baju? Kamu cuma pakai kutang, lho?"

"BAWEL! GUE BILANG PAKE YA PAKE!"

Kalau boleh jujur, gue agak malu karena badan kecil gue ini terekspos gitu aja. Mana dilihatin orang lalu-lalang lagi.

Kinan melongo bingung, tapi tetap ngambil kemeja gue. Setelah berhasil diikat, gue langsung nyeret cewek itu untuk pulang.

"Aku bisa pulang sendiri,"

"Berisik lu, gue yakin lo mau jajan dulu."

"Iya, emang."

"Dengerin omongan gue sekali ini, jangan bawel." Gue merasa keren karena udah ngomong begitu, pasti habis ini dia bakalan naksir sama gue. Tapi tanggapan Kinan nggak sesuai ekspektasi gue.

"Padahal masih anak SD, lagaknya kayak udah gede." gumamnya.

Mencelos? Tentu saja sobat. Ucapannya nyadarin gue betapa sok kerennya gue di mata Kinan. 

Hari itu pula adalah hari terakhir gue berada di dekat Kinan. Gue menjauh dan berusaha nggak peduli. Bodo amat dengan peringkat, lagipula udah memasuki waktu ujian akhir. Gue bakalan jadi anak SMP.

Setelah ujian berakhir dan gue wisuda, gue sama sekali nggak ada inisiatif buat ngobrol sama Kinan. Cewek itu juga kayaknya nggak menganggap kehadiran gue sebagai teman sekelas.

"Saya disuruh masuk SMP 1 sama Mama," Gue menoleh, ternyata sang ketua kelas sekaligus temen sebangku gue.

"Kenapa, Yan?"

"Karena deket rumah. Kamu, Ris?"

"Gue pastinya di SMP swasta,"

Septian ngangguk sambil bersiap diri menunggu giliran foto wisuda, "Denger-denger Kinan dapet beasiswa di SMP 1."

"Dapet info dari mana?"

"Gosip di ruang guru."

"Oh,"

"Masih mau di SMP swasta, Ris?"

"Jelas! Ngapain juga gue ke sekolah negeri?"

Septian ngangguk lagi lalu telunjuknya terangkat, "Itu ada Kinan, nggak mau salam perpisahan dulu?"

Gue refleks mengeryit dahi, "Buat apa? Deket juga nggak."

"Bukannya kamu suka sama dia? Kamu selalu ngelirik dia tiap lagi belajar."

"Yan, bohong itu dusta."

"Bohong itu dosa," koreksinya. "udah ketebak, Ris. Satu kelas juga udah pada sadar kamu suka sama Kinan."

"JANGAN NGADA-NGADA!" tandas gue final.

Gara-gara ucapan Septian, gue jadi nggak tenang. Selama liburan tahun ajaran baru, gue terus merasa bimbang. Bagaimana, yah, rasanya dua puluh persen ingin di sekolah swasta dan delapan puluh persen ingin di SMP 1.

Karena gue mau bareng Septian lagi. Gila aja buat apa gue begini demi ngejar Kinan? Nggak mungkin!

 Gila aja buat apa gue begini demi ngejar Kinan? Nggak mungkin!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
when we were young. ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang