one fine day

100 34 9
                                    

Sore hari, pukul 4. Gue dan Kinan saling berusaha netralin jantung. Gue ngarahin kursor dan ngetik nomor ujian. Bolak-balik Kinan megang tangan gue, tangannya dingin dan bibirnya pucat.

"Tutup mata dulu, Nan." kata gue dan Kinan ngangguk.

Setelah gue mantapin diri buat klik, gue bisa bernapas lega. "Buka mata lo."

Kinan ngebuka matanya perlahan-perlahan lalu cewek itu beranjak berdiri, "RIS, AKU LOLOS?"

"Iya, lolos."

"RIS YANG BENER?"

"Iya."

"INI NGGAK KAMU EDIT DULU, KAN?"

Gue cekikikan, "Ngapain juga? Selamat ya udah jadi anak Ekonomi."

Udah gue bilang, Kinan anak paling impulsif. Dia milih jurusan kayak main dart, nggak nyari tahu dulu yang penting kelihatan keren dan masa depan terjamin. Yang awalnya mau Arsitektur dan Kedokteran Gigi malah ganti jadi Ekonomi.

"Sekarang kamu, Ris,"

"Iye, iye."

"Kinan lolos, ya?" Bunda datang sambil letak cemilan. Kinan memang lagi di rumah gue. Selain dia nggak punya HP, laptop cewek itu lagi rusak. Mau ke warnet juga harus bayar, rugi banget nggak, sih? Mending pake laptop gue, sekalian bisa berduaan juga, ha.

Si empu nama ngulas senyum lebar, "Iya, Tante!"

"Ngambil apa jadinya?"

"Ekonomi,"

Bunda ngangguk sambil senyum ke gue. Gue nggak ngerti maksudnya, jadi gue cuekin aja. Setelah gue masukin nomor ujian, layar hijau terpampang jelas di layar laptop. "Gue masuk juga."

"SERIUS RIS?"

"Iya."

"AAAA KITA SATU KAMPUS YA?"

Hari ini Kinan terlalu semangat, ini pemandangan langka dan berhasil nularin virus itu ke gue. Gue yang awalnya biasa aja malah jadi ngulas senyum simpul.

"Nan, lo mau apa?"

"Hmmm," Cewek itu mikir. "aku maunya kita tetap bareng di kampus nanti walaupun beda jurusan."

"Itu udah pasti, Nan. Selain itu?"

"Nggak ada kayaknya- oh, aku mau cepet lulus biar bisa bantu ayah dan ibu-"

Capek ngomong sama orang dongo. "Lo nggak mau hadiah?"

"Eh, aku... belum ada kepikiran sampe situ, Ris."

Gue buru-buru matiin laptop dan ngajak Kinan bangkit. Cewek itu natap gue bingung, tapi ia tetap ngikutin gue sampe ke garasi.

"Mau ke mana?" tanyanya.

"Ikut gue aja."

Gue berencana mau beliin HP. Habisnya, gue kesusahan harus nunggu dia telepon duluan atau harus ngobrol sama ibunya dulu. Apalagi gue dan Kinan beda jurusan, bisa mampus nyariin dia di fakultas kalau dia masih nggak punya HP.

Kinan ngikutin gue sampe ke mall, dia bingung dan terus genggam baju gue. "Kita makan di luar, Ris? Bukannya Bunda kamu udah masak?"

"Makanan mulu yang di pikiran lo," Begitu tiba di toko ponsel, gue nengok ke samping, "pilih."

"Kok aku?"

"Gue beliin buat lo."

"Eh, aku nggak ngerti yang ginian..."

"Yang menurut lo bagus aja."

Kinan lagi-lagi menggigit bibir bawahnya, cewek itu terus berdiam diri di depan konter sampe-sampe mbaknya juga udah mulai kesal. "Lama lagi mikirnya?" tanya gue.

Kinan menggeleng, "Aku nggak tau, kamu aja yang pilihin."

Gue ngembus napas kasar dan mulai milih spesifikasi yang cocok untuk Kinan. Habis bayar, gue juga ngajarin cewek itu cara mainin HP. Kinan nyoba-nyoba benda persegi itu dengan mata berbinar-binar. Mata yang bikin gue naksir berat sama cewek dongo itu.

"Wah, keren banget,"

"Biasa aja padahal."

"Aku coba telepon kamu, yah?"

"Yaudah."

"Masuk, nggak?"

Gue ngecek HP dan ngangguk, "Masuk,"

"Hehehe, aku udah bisa. Nanti aku sering-sering telepon, ah! Makasih banyak, Haris!"

"Iya."

Terlihat biasa aja di luar, tapi aslinya gue seneng bukan kepalang. Untuk pertama kalinya gue jalan-jalan sama Kinan berduaan di mall dan cewek itu mau telepon gue lagi.

Gue pikir begitu. Gue pikir afirmasinya itu merujuk ke gue. Ada hampir tiga hari gue nungguin Kinan nelepon sampe akhirnya gue jenuh sendiri. Gue mutusin buat nelepon cewek itu duluan.

"Halo?"

"Kok lo nggak nelepon gue?" Gue malas basa-basi.

"Buat apa?"

"Lah?"

"OH IYA! Makasih banyak hadiahnya, aku seneng banget lho, Ris!" katanya di seberang sana. "HP ini ngebantu banget, aku jadi sering komunikasi sama ayah dan ibu!"

Keparat, gue udah geer duluan. Ternyata maksudnya sering nelepon orang tua. Yah, tapi nggak apa selagi masih keluarganya. Gue nggak mau dia nelepon cowok lain.

when we were young. ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang