walk you home

126 39 4
                                    

Delapan tahun lamanya, akhirnya gue balik ke tanah air. Kalau bukan karena resepsi pernikahan Septian dan dia yang terus maksa gue untuk balik, mungkin gue nggak akan pernah menginjakkan negeri penuh memori menyesakkan ini.

Gue bersiap-siap pergi dengan setelan rapi dan menembus jalanan padat dengan langit pekat. Gue masuk dan berusaha nyari Septian, gue mau buruan pulang sebelum ketemu dia; dia yang buat gue jadi orang dongo selama 12 tahun.

"Selamat, Yan!" seru gue.

"Kamu nih nggak bakal pulang kalau nggak saya suruh,"

"Yah, gimana ya kerjaan gue banyak,"

Septian mendengus, "Alasan,"

Gue cuma nyengir dan pamit karena nggak hanya gue relasi yang datang di pesta ini. Gue masih nggak nyangka kalau Septian yang bakalan nikah duluan.

"Oh, tipe lu begini ye, Yan," bisik gue. "yang anggun lemah lembut kayak ratu,"

"Hahaha jelas, istri saya terkeren sedunia." balasnya.

Oh, kalau kalian ngira Septian nikah sama Kinan, maka salah besar. Yah, awalnya gue juga ngira begitu sampe Septian ngirim undangan. Setelah dilihat-lihat pun kayaknya Kinan bukan tipe Septian.

"Yan, gue balik ya?"

"Cepet amat?"

"Buru-buru soalnya." Iya, gue bohong.

"Yaudah foto bentar,"

Gue ngangguk dan berdiri di samping Septian, tapi cowok itu justru turun dari pelaminan dan grasak-grusuk nyari seseorang. Kedatangan Septian bikin jantung gue mau berhenti saat itu juga. Cowok itu dengan santainya narik pergelangan tangan seseorang dan nyuruh gue berdiri di sampingnya.

"Tim olimpiade," katanya sambil nyengir.

Padahal gue mau buru-buru pulang demi menghindar dari dia, Hanindya Kinanti.

Kalau dibilang pangling, gue memang hampir bingung sampe gue bisa mencerna semuanya dalam beberapa menit. Kinan nggak kayak dulu. Rambutnya pendek sebahu lebih dikit, pipinya lumayan tirus, dan makin... cantik.

Mari menghela napas sejenak.

"Ayo rapat rapat! 1, 2, 3!"

Habis berfoto gue buru-buru pamit dan pergi. Gue menganggap nggak akan pernah kenal sama Kinan. Toh, mau diapain lagi? Dia juga pasti nggak peduli sama gue.

"Haris,"

Langkah gue terhenti. Kinan jalan duluan sambil narik tangan gue. Dirasa tempatnya lumayan sepi, dia balik badan dan natap mata gue, "Apa kabar?"

"Gue baik, lo?"

Kinan senyum, "Akhirnya aku pernah sakit maag,"

Gue pikir dia bakalan jawab yang sama kayak gue, ternyata dia jawab yang diluar nalar lagi.

"Aku boleh pukul kamu nggak, Ris?"

Gue ngangguk walau agak bingung, tapi yaudahlah. Bukan Kinan kalau nggak berbuat yang nggak bisa ditebak. Setelah dia mutar sendi-sendi bahunya, dia beneran nonjok gue tepat di dada. "Selama delapan tahun aku udah latihan buat mukul kamu," katanya.

"Udah lega?"

Gue nggak nyangka dia mendedikasi waktunya buat nonjok gue. Yah, gue memang pantes ditonjok, sih. Tapi kalau boleh jujur, pukulannya mantep banget, dada gue mulai agak berdenyut.

Kinan ngangguk, kemudian dia ngambil dua langkah mendekat ke gue dan mendongak. Gue jelas panik, bisa panjang masalahnya. Gue juga nggak tahu ini cewek udah jadi istri orang apa belum. "Ternyata kamu udah tinggian ya, Ris? Dulu kamu lebih pendek dari aku. Sekarang rambutmu juga sepanjang punyaku." 

when we were young. ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang