Delapan

357 79 12
                                    








Selamat Membaca ❤️✨







“Ay, lu ngapa pake masker ke sekolah? Sakit flu, lu?” tanya Kiki saat mereka sedang duduk di kantin sekolah. Bianca lagi ke Mamang kantin sekolah beli pesenannya, Aya, dan Kiki.

“Muka gua jelek. Malu gua,” samar-samar terdengar suara Aya dari balik masker.

“Apa?” Kiki gak salah denger, nih?

Kiki beringsut menggeser bokongnya agar semakin dekat dengan Aya di bangku yang sama di kantin. Ia menyelipkan rambut yang menutupi telinganya.

“Lu bilang apa tadi? Gak denger,” Kiki cuma mau mastiin telinganya gak budeg.

“Gua malu makanya pake masker,” Aya menarik masker ke bawah saat berbicara lalu segera menutupnya setelah selesai bicara.

“Malu kenapa dah?” tiba-tiba Bianca datang dengan baki berisi minuman dan makanan lalu meletakkannya di atas meja. Telinganya sensitif banget. Bisa dengar suara Aya yang kecil.

Bianca duduk di sebelah kiri Aya.

“Malu karena muka gua jelek,” balas Aya menurunkan maskernya lagi.

Kedua sahabatnya berusaha mencerna kalimat Aya baik-baik. Mereka berpikir keras. Apakah Aya menyebutkan sebuah majas, kah? Teka-teki, kah? Bercanda, kah? Atau apa?

“Lu... Jelek?” Bianca menunjuk Aya.

Aya mengangguk.

Otomatis dua sohib Aya geleng-geleng kayak ondel-ondel. Eh, ondel-ondel geleng-geleng gak, sih?

“Ada yang salah sama otak lu,” kata Kiki. “Lu kan cantik, kenapa tiba-tiba bilang diri lu jelek?”

“Merendah untuk meroket, Ay?” tambah Bianca.

Aya melepas maskernya. Ia menggeleng. “Gak. Gua tau gua jelek.”

Bianca dan Kiki tertawa aneh. “Lu ngadi-ngadi jadi orang, Ay,” kata Kiki.

Bianca geleng-geleng kepala. Tangannya mengangkat mangkok bakso dari baki lalu meletakkannya di depan dua sahabatnya dan dirinya.

“Ada yang bilang gitu,” bela Aya pada dirinya sendiri. “Lagian, kalo tiap gua pergi-pergi, mau ke minimarket, mall, pasar, atau ke mana, gitu, orang sering liat gua pake muka kayak heran sama aneh. Belum lagi mereka nilai pakaian gua. Kadang ada yang liatin gua dari ujung kaki sampe ujung kepala,” tambahnya mengingat orang-orang yang bertindak demikian padanya. Aya kadang risih sekaligus gak suka.

“Sebenarnya itu karena gaya lu gak menarik, sih,” Kiki menyentuh poni panjang yang menutupi sebagian wajah Aya. Ia meraih tangan Aya yang memakai jam tangan dakocan gede warna ungu, lalu memegang ikat rambut Aya yang berwarna kuning.

“Lu agak waras dikit kalo pakaian ke sekolah. Tapi kalo di luar sekolah, lu kadang kayak gembel,” tambah Aya. Nyelekit banget kata-katanya, tapi emang bener.

“Lu juga dikatain jelek karena lu item. Itu karena lu sering renang gaya batu di komplek rumah lu, kan?” Bianca mengingat hobi ayah Aya yang suka ngajak berenang. “Kalo enggak renang, lu bakal bening kayak Mas lu, Mas Wisnu,” kata Bianca.

Bianca berdeham,“Di iklan-iklan, banyak produk kecantikan yang buat kita secara gak sadar nge-judge kalo orang cantik itu harus putih. Orang cantik, bersih, pasti putih. Dan karena lu item kek pantat wajan, lu jadi dianggap jelek sama kotor. Aura cantik lu ketutup keiteman lu.”

“Lu juga gak wangi. Lu pake baju juga gak rapi,” Kiki menunjuk seragam Aya yang agak kusut. “Nih, serampangan banget. Gak rapi. Bintang satu di mata orang-orang, kecuali kita yang udah nerima lu yang begini buluk,” tambah Kiki.

“Ini gaya rambut lu juga mantap banget. Kuncir kuda mulu, terus ikat rambut lu bisa-bisanya kuning tapi ada hiasan tengkoraknya. Gua tau aksesoris lu dibeliin Mas Wisnu yang sesat dalam urusan fashion wanita, tapi gak semestinya lu kayak gini. Gak punya ortu cewek bukan berarti gak fashionable,” tutur Bianca.

Iya, Ibu Aya sudah meninggal dan dia hidup bersama dua laki-laki alias Wisnu dan ayahnya di rumah yang bisa dibilang gak tahu fashion cewek.

“Tinggal sama ortu cowok sama Abang memang buat lu jadi kayak laki-laki. Outfit lu juga kayak preman semua. Itu semua membuat lu gak diakui sebagai perempuan,” kata Kiki.

“Abang lu males mandi, males merhatiin penampilan, masih bisa tetap buat dia ganteng karena dimana-mana orang putih gak mandi tetap dikatai udah mandi. Laki-laki kek Mas lu pake kaos kutang ke swalayan sama celana pendek sobek tetap dibilang ganteng karena putih. Nah, lu? Item, say. Item sebenarnya seksi. Eksotis. Manis. Tapi, karena gaya lu gak rapi, aneh, jadi aura kecantikan lu gak kepancar secara maksimal,” ucap Bianca menekankan kata ‘maksimal’. Ia menyeruput jusnya. Seret juga ngomong panjang lebar.

Mata Aya memandangi tangan Bianca yang mengambil gelas, Bianca yang minum, lalu meletakkan gelas kembali ke meja.

“Belum lagi outfit lu gak jelas semua. Kadang lu bergaya kayak di benua Amerika-Afrika. Style bohemian? Gak cocok di budaya Indonesia kita. Lu juga kadang pake jaket tebel banget kayak orang di kutub kalo malem-malem, keren sih, tapi lu malah pake sendal jepit, celana legging, gak cocok. Adanya diketawain. Hahaha,” Bianca tertawa, lalu berdeham, kembali ngomong serius, “Kadang lu pake outfit swag campur vintage. Acakadul jadinya,” kata Bianca.

“Kulit lu item. Lu gak wangi. Lu gak rapi. Intinya, lu kalah di penampilan,” tandas Bianca.

“Lu kacamataan, lu berbehel, lu tomboy nanggung, dan itu buat lu kayak kesasar di sekolah kita yang kebanyakan cewek-ceweknya feminim. Mereka pake behel, pake kacamata, tapi tetap feminim. Jalannya juga kemayu. Rapi, bersih, wangi, jadi diliat juga enak. Elu? Kayak...” Kiki menoleh melihat Bianca.

“...gembel, Ay.” kompak Bianca dan Kiki berbicara.

Mungkin, kalau orang lain yang mengatakan itu, Aya bakal sakit hati, tapi, karena yang mengatakan itu adalah orang terdekatnya, ia gak sakit hati sama sekali.

Aya mengerjapkan matanya. Telinganya menyimak kalimat dua sohibnya yang entah kenapa kayak dewasa banget. Beda sama dengan yang biasanya, yang kadang aneh-aneh.

“Jadi... Selama ini gua kayak gembel?”

Kiki dan Bianca ngangguk.

“Lu sebenarnya kentang mentah yang kecantikannya masih belum diakui alias dibilang jelek sama orang-orang. Kebetulan aja mata kami jeli, gak bilang wajah lu kek kentang,” Bianca narik napas sejenak. Minum lagi  karena seret lagi.

“Kentang masih lumayan dikata jelek, tapi bisa glow up, bisa jadi kentang goreng enak, bisa jadi mash potato, bisa jadi potato chips, nah elu?” Bianca bicara lagi. Ia menarik napas dalam. “Lu kayak kentang busuk yang harus dilempar ke tanah lagi supaya jadi tumbuhan kentang terus berkentang, terus dipanen supaya dibuat jadi olahan kentang enak plus mahal.”

“Maksudnya gimana? Gua... harus rombak habis-habisan penampilan gua?”

Bianca menjentikkan jarinya. Kiki yang dari tadi diam kayak dengar podcast, mengangguk antusias.

“Iya,” kata mereka.

“Lu mau kan, ngikutin rencana kita yang keren ini? Ngerombak lu jadi cewek yang sebenarnya,” kata Kiki tersenyum sombong. Tangannya mengibas rambutnya yang wangi dan hitam berkilau. Alisnya naik turun. “Mau, ya?”










💚 Say It, Please! ™ - (Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang