One

300 45 17
                                    

Gedoran pintu membangunkanku dari tidur yang baru saja aku dapat. Pekerjaan yang menumpuk membuatku mau tidak mau mengorbankan waktu tidur yang harusnya enam jam hanya jadi tiga jam. Dan setidaknya baru beberapa menit lalu aku terpejam, aku harus ikhlas membuka mata yang amat berat ini.
Dengan mendengus kesal, kutinggalkan kasur serta tetek bengek benda-benda ternyamanku di sana, menyeret malas kedua kaki ini menuju pintu malang yang dipukul keras oleh orang di luar sana.

Krekk

Pintu terbuka. Tamuku membuat mata yang tadinya merem melek, kini melek sempurna. Wajahnya menyedihkan dengan mata dan hidung yang merah. Anak rambutnya lepek menempel pada wajah. Entah karena keringat atau air mata.

"Hey, " sapaku. Entah apa lagi kata yang bisa aku keluarkan. Walau bukan pemandangan baru, tapi tetap saja aku malas untuk bertanya kenapa. Bisa aku tebak masalahnya berkutat pada asmara.

Hap

Tubuhku ditangkap. Didekap erat. Aku mengerjap. Belum siap mendapat serangan tiba-tiba.

Dia terisak dan aku hanya diam terpaku.

"Aku putus! " ucapnya.

Aku menarik napas lalu kuelus punggung ringkihnya.

"Ayo masuk! " ajakku. Dia manut dan duduk di sofa yang di beberapa bagian sobek dimakan usia.

"Aku ambilin minum ya! " tanpa persetujuannya, aku masuk ke dapur untuk menyiapkan teh. Setelah selesai, aku berikan padanya.

"Tehnya hangat. Kamu bisa langsung minum." kataku. Dia lalu meminumnya seteguk, dua teguk.

"Kamu bener, dia selingkuh! " ucapnya lagi setelah gelas teh itu dia daratkan di atas meja.

Aku sudah tidak heran dengan ini semua. Telinga, mata, bibir bahkan rumahku yang sederhana ini menjadi saksi bahwa perempuan yang sudah lama aku taksir ini sering datang hanya untuk curhat. Menangis juga bukan hal baru. Bahuku saksinya.

"Aku masih gak percaya dia selingkuh. Kenapa jahat sih? Dia tau secinta apa aku sama dia. " dia menangis lagi. Tisue di atas meja menjadi penampung air mata serta ingus dari hidungnya yang setelah basah, dia buang begitu saja.

Aku melenguh karena kantukku menyerang. Duduk di sofa hampir saja membuatku lupa bahwa perempuan di sampingku ini butuh telinga.

"Hiks,,, apa aku gak pantes dicintai? Aku jelek ya? Aku kurangnya apa sih? "
Dia lalu menoleh ke arahku yang ada di sampingnya.

"Kurangnya aku apa? "

Aku menggeleng. "You're perfect! " jawabku.

"You're lying" balasnya dengan sinis tak percaya.

"Kalo aku sempurna kenapa dia cari yang lain? " sambungnya dengan nada bertanya.

"Dia bego. Apa lagi? " jawabku enteng.

"Dikasih bidadari malah cari rakyat jelata. " sambungku menjelaskan.

Dia malah semakin menangis.

"Berarti aku lebih rendah dari rakyat jelata! "

Aku menghela napas lelah. Kantukku belum usai, kini aku dihadapi dengan tangisannya yang mirip seperti bayi.

Tanpa pikir panjang, kupeluk saja tubuh imut itu dengan penuh sayang dan tanpa perlawanan darinya.

"Ayu Rosmalina, udah ya. Jangan nangis. Nanti aku repot sapuin mutiara di lantai karena airmata kamu. Kamu tuh sempurna di mata orang yang tepat. Pacar kamu tu orang paling bego sedunia karena lepasin perempuan yang sangat mencintai dia. Dan kamu beruntung karena tau belangnya dari sekarang. "

"Bentar, kamu tadi bilang aku bidadari. Sejak kapan air mata bidadari jadi mutiara? "

"Sejak sekarang. !" jawabku asal karena malas berdebat.

Aku merasa tidak lagi bisa menahan kantukku. Aku ingin memejamkan mata dan bersantai sejenak, mengistirahatkan semua bagian dari tubuhku dari segala aktifitas termasuk otakku yang sebelumnya terus bekerja.

Setelah kalimat singkat itu aku menghilang di alam bawah sadar. Aku tidak tau lagi apa yang terjadi setelahnya. Yang aku tau, di pagi hari, aku sudah terselimuti sebuah kain lembut warna putih . Terbaring di atas sofa dengan posisi miring menghadap meja tempat gelas teh yang aku buat untuk tamuku tadi malam, Ayu.

Aku menguap lebar. Rambutku berantakan tak karuan. Untungnya aku tidak ngiler karena tidur miring.

"Okey, Ivan. Time to work. Again! "

to be continued



HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang