• Mau Peluk? •

8 0 0
                                    

"Kenapa warna hitam?" aku tersenyum dan memperhatikan kembali lukisan yang kubuat sebelum menjawab pertanyaan darinya.

"Sejujurnya warna putih lebih mampu mendeskripsikan kehampaan daripada warna hitam tapi kanvasnya sudah berwarna putih, jadi aku pilih hitam."

Dia memperhatikan kembali lukisanku. Lukisan yang hanya digores dengan warna hitam dan putih sebagai latarnya.

"Sebagian orang beranggapan warna hitam itu menyeramkan, tapi aku tidak punya pilihan lain untuk menggambarkan kehampaan." kataku lagi tanpa menoleh ke arahnya.

Reyhan -lelaki yang berbicara denganku sedari tadi- meletakkan palet warna yang dipegangnya. Menorehkan seluruh atensinya padaku.

"Mau peluk?" tanyanya sembari meregangkan tangan dengan wajah tersenyum manis. Aku tersenyum lagi, entah apa yang lucu.

"Kau tahu, seumur hidupku kau adalah orang pertama yang bertanya seperti itu. Kadang aku bertanya-tanya bagaimana ya rasanya dipeluk? nyaman 'kah?," aku berhenti berbicara, menoleh ke arah Reyhan yang telah menurunkan tangannya.

Dia mendekatiku, meletakkan palet warna yang aku pegang, kemudian menarik kursi yang aku duduki. Tangannya yang lebih besar dariku kini menggenggam jemariku dengan lembut kemudian melingkarkan pada pinggang ramping yang dia miliki. Telapak tangannya pun ikut mengelus kepalaku yang kini berada di dadanya.

Sore itu, lantai perpustakan dan langit mendung telah menjadi saksi bagaimana rapuhnya diriku. Air mataku tak hentinya keluar hingga membasahi kemeja milik Reyhan. Seperti biasa, Reyhan hanya diam namun jemarinya senantiasa mengelus kepalaku.

Rasanya sangat hangat, Rey. Suara detak jantungmu terasa seperti alunan lagu tidur. Elusan tanganmu sangat menenangkan. Bisakah aku merasakannya setiap hari?

Siapa Aku? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang