• Mungkinkah Cinta Ibu Itu Benar Adanya? •

2 0 0
                                    


Aku tidak pernah takut akan kehilangan ibuku. Memangnya apa yang harus aku tangisi? Tidak ada.

Ibu hanya menyakitiku. Dia sangat egois. Juga, dia tidak peduli denganku. Dia hanya peduli dengan dirinya sendiri.

Ketika aku sakit, ibu tidak merawatku. Saat itu bertepatan aku sedang datang bulan. Pusing, demam, bahkan untuk bergerak rasanya aku tidak mampu. Kalian tahu apa yang dikatakan ibuku ketika aku bilang "Ibu, aku sakit"?

"Itu hanya demam biasa, tidak perlu berlebihan."

Dia tidak melakukan apapun. Benar-benar membiarkanku merawat diriku sendiri. Bahkan ibuku tidak membelikanku obat. aku memaksakan diriku untuk membersihkan diri, sembari memegang perut yang keram dan perih. Harus menyuapi makan ke mulut agar aku tidak kelaparan, meskipun aku melakukannya dengan tangan gemetar tapi aku harus tetap melakukannya.

Sekali pun dia tak menjengukku meski kamar kita bersebelahan. Sekedar menengok pun tidak.

Aku menangis, tapi tidak ada yang datang ke kamarku. Ayahku berada di luar kota saat itu. Satu-satunya yang aku harapkan adalah ibuku namun dia sama sekali tidak membantu.

Ibu selalu meneriakiku. Mendorongku ketika marah. Mencubit dan terus mencecarku dengan perkataan sampahnya.

Ayahku? Dia sama sekali tidak tahu tentang hal itu. Dia sering pergi bekerja ke luar kota. Tiap ayah menelfon untuk memberi kabar bahwa dia akan pulang, ibu akan berbisik kepadaku,

"Awas saja kalau kau berani mengadu pada ayahmu. Diam, dan jangan katakan apapun."

Aku hanya diam dan menurut, seperti anjing penurut.

Ibu akan menyeret kakiku jika aku tidak segera bangun. Dia akan berteriak "Dasar bodoh" jika aku bangun kesiangan. Hingga aku berfikir,

Masih kurang kah semua prestasi yang aku dapat hingga ibu mengatai aku bodoh? Berapa banyak piagam yang harus aku dapatkan lagi agar ibu bilang aku anak pintar? Masih kurang kah aku menurut? Ibu, aku anak baik. Aku juga tidak bodoh, guru guru sering memujiku. Aku juga bukan anak nakal, aku benar-benar anak baik. Nilai nilai ku juga bagus kan bu? Bukannya ibu sudah melihat sendiri buku ku tiap pulang sekolah? Haruskah aku dapat nilai 1000 agar ibu tidak meneriaki aku bodoh?

Ibu juga tidak pernah memelukku. Peluk aku ibu, aku mau dipeluk. Eluslah juga kepalaku, jangan menekannya dengan jarimu ibu. Bisakah ibu juga berhenti mendorongku? Kenapa ibu melakukannya?  Ibu suka sekali marah marah. Apa yang membuat ibu marah?

Ibu selalu berkata "Anak ibu harus terlihat sempurna, agar tidak memalukan".

Ibu, bagaimana aku bisa jadi sempurna jika ibu sendiri yang memberiku cacat? 

Ibu, aku lelah. Ibu senantiasa menuntutku untuk jadi sempurna. Dapat nilai seratus, harus cantik dan tampil menawan, dan banyak hal lain yang harus aku lakukan. Bahkan saat itu aku masih ingat. Bagaimana ibu memarahiku sembari mendorongku karena ibu merasa tadarus qur'an ku jelek.

Aku juga pernah berkata pada ibu "ibu, aku tidak bisa", saat itu aku benar-benar butuh didengar, aku pikir ibu akan mendengarkanku. Namun, ibu hanya bilang "kau sendiri yang memilih jurusan itu, sekarang hadapilah. Jangan mengeluh, kau harus berusaha" . Aku diam, memperhatikan ibu yang mengatakannya sembari bermain handphone. Apakah ibu lupa, bahwa ibu yang memberiku pilihan itu? 'Fisika atau Matematika', sedangkan aku sangat benci fisika  dan ibu melarangku memilih sendiri apa yang aku suka.

Sejak saat itu, aku tidak ingin lagi berbicara dengan ibu.

Tidak bisakah ibu mendengarkanku saja lalu mengelus kepala ku kala itu?

Ibu juga sering mengeluh tentang aku yang tak mahir memasak atau melakukan pekerjaan rumah. Padahal ibu sendiri yang selalu melarangku ketika aku ingin membantu. Dengan dalih "Belajar saja sana, biar ibu yang lakukan pekerjaan rumah".  Sudah bertahun-tahun lamanya dan mungkin ibu sudah lupa. Selalu menyalahkan ku yang kini kian tumbuh namun tidak paham urusan dapur.

Aku pikir cukup sampai disini kenangan menyakitkan dari ibuku. Aku tidak akan menuliskan lebih banyak, rasanya sakit jika harus mengingat. Aku harap aku tidak akan jadi ibu nantinya. Aku bahkan tidak punya pikiran untuk menikah.

Aku takut. Bagaimana jika aku memiliki anak kemudian dia ikut merasakan apa yang telah aku rasakan. Bagaimana jika aku jadi seperti ibuku?

Siapa Aku? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang