Bagian 24, Jangan hilangkan dia

616 52 0
                                    

Juni cekatan menggunakan skill memasaknya pagi ini. Tidak ada siapapun kecuali Candana yang duduk di meja makan dengan baju yang sudah rapi di pagi ini.

Juni menaruh piring berisi nasi goreng dan langsung kembali lagi ke dapur dengan cepat untuk menyiapkan bekal Candana saat study tour hari ini. Ini emang bukan waktu yang tepat, uangnya sudah dibayar. Jadi... Daripada sia-sia, Candana dipaksa berangkat saja hari ini.

Candana sendiri murung sejak kemarin, tidak tega meninggalkan rumah sakit satu langkah pun. Bahkan tidurnya tidak nyenyak malam tadi. Ia mengunyah makanannya dan menelannya dengan rasa sakit di tenggorokan karena menahan tangis sejak tadi.

Rumah terlihat beda, tidak ada siapapun yang biasanya membuat kegaduhan sebelum sarapan sederhana mereka tersaji di meja makan. Mereka tak kalah hangatnya dari sarapan yang apapun menunya mereka makan dengan suka hati.

Juni menatapnya saat ia tertunduk untuk mengeluarkan air matanya. Bahkan remaja mungil itu memeluk Candana yang terisak tanpa menghabiskan sarapan paginya.

Jari-jari tangan Juni menghapus air matanya yang membekas di pipi, ia tersenyum cerah. Seolah menghangatkan dinginnya pagi ini. Juni menyisipkan uang jajan yang cukup besar di kantung celana Candana dan memasukkan bekal untuk ia makan saat lapar nanti.

Candana tidak berucap apapun bahkan Juni menuntunnya sampai depan gang. Baru segini saja menangis, apalagi saat... Candana tidak sudi, bahkan mengucap kata itu dalam hati.

Juni memanggil angkot. Sebelum angkotnya menepi, Juni menberi kertas catatan kepada Candana dan membayar ongkos lebih dulu ke sopir sebelum mempersilahkan Candana memasuki angkot penuh anak sekolah sepertinya.

Candana menatap Juni yang melambai-lambai sebelum angkot semakin jauh. Ia membaca catatan dengan isakan kecil yang ia tahan.

Pagi ini harus semangat!
Ada ayam kecap kesukaan Candana.
Jangan lupa baca doa di perjalanan.
Bang Hanan banyak yang jagain, jangan sedih.

Candana meremat kertas itu, mendongakkan kepalanya agar air matanya tidak turun lagi. Ia memalingkan wajahnya agar tidak seorangpun bisa melihat wajah sembabnya.

"Kiri."

Matanya menatap bus yang sudah terpakir di depan sekolah, murid lain tampak asik tertawa dan beberapa asik berfoto dengan senangnya. Candana mengeratkan genggamannya pada ransel dan mendekati teman-teman sekelasnya.

"Abang lo masuk rs ya?"

Candana mengangguk saja, mengantungi kertas yang tadi ia baca dan menatap kosong kearah murid-murid yang bergerombol.

Ingat sekali, saat study tour kelas 6. Bang Mara, Juni, Jeno, Hanan dan Jelan mengantarnya dengan heboh ke sekolah untuk sekedar berfoto bersama sebelum ia asik bertamasya bersama teman-temannya dulu.

Candana berlari kearah teman-temannya yang sudah memasuki bus. Tidak ada banyak tempat tersisa, Candana memilih asal dan menatap ke arah luar jendela.

Ia gugup, bukannya senang karena pergi ke taman hiburan yang sedari dulu sangat ingin ia kunjungi. Tapi... Harapannya membawa semua saudara-saudaranya dan bermain bersama di sana. Ini jauh dari keinginan besar Candana.

Bus tak kunjung berangkat, bahkan guru-guru sebagai panitia tampak serius berbincang dari sana. Satu orang guru memasuki bus, menatap satu persatu murid yang kini terdiam dari candaan berisiknya.

"Ada yang namanya Candana?"

Beberapa orang menunjuknya. Jantung Candana berdebar entah mengapa saat guru pria itu mendekatinya dan menyuruhnya berdiri untuk menuntunnya keluar bus yang membuat teman-temannya mengintip dari dalam penasaran.

[1] A Thousand Dreams ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang