Bagian 44, Kamu duniaku

338 32 0
                                    

Saat angin membuat rambutnya yang mulai memanjang tertiup olehnya, dia mengucek matanya saat helaian rambut itu menusuk sampai sana. Lalu kembali fokuskan lagi ke arah bawah pohon rindang dengan anak-anak kecil yang berlarian di sekitar. Tapi, tunggu! Bukan itu yang ia lihat. Tapi satu anak yang membaca buku ensiklopedia, bukan buku dongeng untuk anak seusianya.

Ini hari ke 16, tapi dia belum banyak bicara selain kepada pemilik panti dan anak yang selalu bersamanya. Dia menggaruk kepalanya yang gatal lalu memantapkan diri menghampirinya. Candana mengeluh saat seseorang menabrak bahunya hingga anak yang selalu ia tuju menatapnya khawatir.

"Eh? Maafin aku! Sakit gak?" Candana menggeleng lalu meninggalkannya untuk duduk bersama di bawah pohon rindang itu.

"Kakak siapa namanya?"

"Kenapa ada di sini?"

"Ini buku apa?"

"Kakak?" Anak ini terlalu cerewet.

Anak itu menatap Candana diam. Dia menutup buku tebalnya lalu mengangkat tangannya sambil digerakkan. Candana mengernyit bingung. Melihat ekspresi Candana membuatnya merasa sedih lalu berlari memasuki panti. Dia merasa malu dengan kekurangannya.

Kepergiannya digantikan oleh seseorang yang mau beranjak remaja. Dia menatap anak yang berlari ke dalam itu dengan penuh tanda tanya. Lalu menghampiri Candana yang juga bingung.

"Kenapa? Kamu isengin Juni, ya?" tanyanya penuh selidik kepada Candana. Tentu saja Candana menggeleng cepat. Dia juga bertanya-tanya.

"Tadi dia gini," terang Candana sambil meragakan apa yang anak itu lakukan.

"Mungkin Juni masih malu. Candana harus ngerti...," jelas Maraka sambil mengusap bahu Candana dengan lembut.

"Kakak itu kenapa?"

Maraka yang menyamakan tingginya dengan Candana yang masih terduduk di atas tanah. Dia memegang kedua bahunya. Sungguh Maraka sepertinya dewasa sebelum waktunya.

"Namanya Juni. Panggilnya Bang Juni ya? Bang Juni itu istimewa, karena bicaranya pakai tangan yang gak semua orang bisa, karena istimewa Bang Juni juga gak bisa dengar kata-kata jahat dari orang buat dia. Nanti aku ajarin bahasa isyarat biar ngerti ya!"

Candana kecil mengangguk. Menatap tempat di mana Juni duduk terakhir kali. Dia berpikir untuk menjadi lebih dekat. Candana sedih sekali saat itu jika seseorang menanyakan apa Juni bisa diadopsi atau tidak. Sampai sekarangpun, Juni jadi satu-satunya yang menjadi tempat untuk pulang.

.

"Lo kalo berisik gue seret keluar ya!" ancam Yuda saat mengantar Candana masuk ke dalam sana.

Candana mengangguk lemah sambil menatap sendu ke arah orang yang masih betah terpejam. Sampai matahari sudah bergantian tugas, lampu-lampu dipadamkan dan tirai ditutup, tapi dia masih belum membuka mata untuk memberitahukan kalau semua baik-baik saja.

Dia menyeret kursi sampai-sampai menimbulkan decitan nyaring dan melupakan nasihat Yuda. Candana duduk di atasnya yang keras. Dia mengembalikan buku catatan kecil yang biasanya digunakan untuk berkomunikasi. Sakit sekali saat membaca sisanya.

Candana mengenggam tangannya yang dingin. Tangan yang tak membalas genggamannya untuk saling menguatkan. Dia menghela napas panjang, lalu menaikkan selimutnya agar tidak kedinginan.

"Candana harusnya gak usah ngambek minta dijajanin," sesalnya. Ya... Candana... Sekarang baru tahu 'kan penyesalan itu datangnya belakangan?

[1] A Thousand Dreams ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang