10. Bertemu untuk Berpisah

79 1 0
                                    

_MEMBER AW ANGKATAN 1_

nama : putri basaria sihombing
alamat : Sumatera Utara
kegemaran : membaca novel&cerpen
ambisi : bisa menyelesaikan cerita novel di wp
usia : 15+

***
Keringat membanjiri pelipis pemuda itu. Seekor anjing buas yang diketahui kelaparan itu memburunya. Mengejar ia tanpa ampun. Kakinya hampir terpeleset ke sebuah jurang yang amat seram. Beruntunglah ia menyadari keberadaan jurang itu. Sial! Anjing mulai mendekati ia dengan langkah pelan - pelan. Keringat membasahi sekujur tubuh. Opsi terakhir, Zarael melompat ke jurang itu. Sungguh, ini sangat dalam. Sesampainya di dasar jurang, kepala Zarael menabrak sebuah batu. Luka yang paling kentara adalah hidung Zarael. Darah mengalir deras dari indra mancung pemuda tersebut. Lalu ia meraba wajahnya. Namun ... gigi Zarael putus, ia sadar saat mulutnya mendesis kasar. Tetapi ini aneh, mengapa tubuh Zarael tetap rileks? Seakan jatuh dari jurang hanya sekadar jatuh dari sepeda. Ketika Zarael berdiri, anjing tadi sudah tetap berdiri di depannya. Jantungnya memompa lebih cepat. Terutama di kala anjing semakin mendekat. Sedetik kemudian ... hap!
Zarael terbangun. Napasnya memburu cepat. Mimpi dikejar anjing adalah kejadian yang buruk. Beruntunglah semua itu sekadar mimpi belaka. Dengan cepat ia berdiri bangun menuju dapur. Mengambil segelas air hangat untuk dikonsumsi. Tinggal sendiri di rumah merupakan pengalaman yang buruk. Kedua orang tua Zarael tengah pergi ke rumah sepupunya. Dikarenakan sebuah urusan. Langkah kaki pemuda itu hendak ke kamar. Namun urung. Indra pendengarannya menangkap sebuah suara keributan di samping rumahnya. Setahu Zarael rumah yang berada di samping rumahnya kosong. Zarael melirik lewat jendela. Ternyata ada sebuah mobil dan beberapa orang yang sedang mengangkat barang ke dalam rumah. Singkatnya mereka adalah penghuni baru.
Kabar baik di pagi hari yang cerah ini. Zarael mempunyai tetangga baru. Di tengah - tengah sibuknya memanaskan motor kesayangannya, pemuda itu melihat seorang gadis. Si penghuni rumah sebelah. Zarael akan berangkat ke sekolah sepagi ini. Karena hari ini jadwal ia piket. Sesudah menutup pagar rumah, Zarael melihat gadis tadi berjalan. Sedekat ini Zarael sadar. Ia kenal gadis itu. Dia adalah siswi kelas XII IPA 2. Juara dua umum paralel jurusan IPA angkatan mereka. Kepala Zarael mangut - mangut. Tetangga ia si gadis jenius yang dikenal pendiam itu rupanya.
"Nalitha!" sapa Zarael memanggil.
"Iya? Kamu siapa, ya?" Nalitha berbalik membalas panggilan Zarael. Bukan tak kenal sebenarnya. Nalitha tahu pemuda itu satu sekolahnya. Hanya dia tak mengetahui nama pemuda tersebut.
"Kenalin aku Zarael dari kelas XII IPA 5. Aku tetangga kamu. Daripada jalan mending barengan yuk," tawar Zarael mengajak Nalitha. Sang gadis mengangguk sekaligus tersenyum. Ia menerima dan tak lupa mengucap terimakasih terlebih dahulu atas kebaikan Zarael. Dan inilah awal mereka mulai berteman baik.
Angkat siswa - siswi kelas XII jurusan IPA-IPS-Bahasa diacak lagi semester awal. Ruang 1-5 sudah ditempel nama - mama murid yang menempat duduki. Zarael dan Nalitha sontak terkejut. Kebetulan mereka berada di kelas yang sama. Yakni kelas XII IPA 1. Zarael tak heran mengapa Nalitha berada di kelas depan. Pasti dikarenakan ia salah satu siswi cerdas di SMA Bintang Selatan. Tapi yang diherankan Zarael, bagaimana bisa ia duduk di kelas depan secara tiba - tiba begini? Sejak kelas X ia selalu menduduki ruang IPA 5. Ini kali pertama.
"Kita duduk sebangku aja ya," pinta Zarael. Alasannya karena di sini tidak ada teman dekatnya.
"Boleh," ucap Nalitha menyetujui. Padahal, Sheiren-juara 1 umum paralel juga mengajaknya. Sayangnya ia sudah terlebih dahulu duduk bersama teman lainnya di depan. Membuat janji mereka batal. Zarael tak menyangka bisa secara mendadak dekat dengan Nalitha. Mengingat dulu ia pernah mengagumi gadis itu karena kecerdasannya. Dulu ia ingin sekali menjadi teman dekat Nalitha. Tapi rasanya hampir mustahil.
***
"Mama dengar ada tetangga baru lho, El!" kata Sisilia-ibu Zarael.
"Zarael udah tahu duluan, Ma. Udah kenalan malah. Bahkan tetangga jadi teman dekat Zarael sekarang," papar Zarael panjang lebar.
"Wah, ajak main ke sini dong, Bang. Biar Papa sama Mama kenal juga," timpal Olivier-ayah Zarael.
"Iya Pa. Hari ini Zarael diajak ke rumahnya buat belajar bareng. Nama dia Nalitha. Pinter banget tahu nggak Ma, Pa. Aku jadi minder," jelas pemuda itu.
Zarael bergegas cepat ke rumah Nalitha. Ini kunjungan pertamanya ke sana. Sekaligus acara belajar bersama mereka. Ini bukan kali pertama mereka belajar bersama. Biasanya mereka menghabiskan waktu belajar di Perpustakaan sekolah beberapa akhir ini. Kenal dengan Nalitha menambah minat belajar Zarael. Sebelum - sebelum itu ia tak terlalu rajin belajar. Pengaruh gadis itu benar - benar hebat. Sesudah mengetuk pintu rumah Nalitha, Zarael masuk seraya mengucap salam.
Nalitha dalam keadaan sendiri. Zarael penasaran. Apakah semenjak tinggal di sini hanya Nalitha seorang? Tanpa ragu Zarael bertanya, "Orang tua sama saudara kamu di mana, Tha?"
"Saudaraku sama orang tuaku tinggal di apartemen," jawab Nalitha.
"Kamu kenapa sendirian di sini? Em ... maksudku, kenapa nggak tinggal sama aja?"
"Sebelum belajar aku buatin susu jahe, ya. Kamu tunggu di sini. Aku ke dapur bentar."
Zarael mengangguk singkat. Ia sempat berpikir jikalau Nalitha sengaja mengabaikan pertanyaannya. Ah, sudahlah. Itu tak terkesan penting juga. Zarael tak perlu repot - repot merasa diabaikan. Sejak malam ini, belajar bersama di rumah Nalitha sudah menjadi rutinitas dua orang itu. Tapi berbeda kali ini. Zarael mengajak Nalitha untuk datang ke rumahnya. Supaya gadis itu mengenak keluarga Zarael. Sebenarnya Zarael juga berharap dapat mengenal keluarga gadis itu. Namun, sampai sejauh ini pun keluarga Nalitha tak pernah berkunjung menjenguk gadis itu. Bahkan Nalitha terlihat biasa saja. Zarael berprasangka kalau Nalitha gadis mandiri yang bisa hidup sendiri tanpa kerabat terdekatnya.
Minggu akhir pekan ini, Ibu Zarael mengajak Nalitha untuk berbelanja sama dengannya ke pasar. Semenjak ajakan Zarael kemarin, Sisilia dan Nalitha terlihat dekat bak ibu dan anak perempuan. Olivier pun sama. Ia sering mengundang Nalitha makan malam bersama dengan keluarganya. Mereka benar - benar sudah akrab. Zarael senang bukan kepalang. Ini adalah salah satu upaya agar Nalitha tak merasa kesepian.
Di tengah perjalanan, motor yang dikendarai oleh Nalitha disenggol oleh sebuah mobil. Secara sengaja. Alhasil mereka kehilangan keseimbangan dan jatuh. Sialnya, saat Sisilia yang dibonceng oleh Nalitha terjatuh duluan, wanita itu langsung digilas oleh sebuah truk. Nalitha secara refleks menjerit kuat. Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Melihat tubuh Sisilia dibanjiri penuh darah. Semua warga yang menyaksikan heboh dan bergegas membawa Sisilia ke rumah sakit. Nalitha mengabaikan luka berat di kepala dan kakinya. Itu tak ada apa - apanya dibandingkan ketakutannya pada kondisi Sisilia. Wanita itu masuk ruang UGD ( Unit Gawat Darurat).
Keluarga Sisilia datang. Zarael di sana. Menatap nanar pintu ruangan di mana ibunya berjuang menentukan garis kehidupannya. Kemudian kepalanya menoleh ke arah Nalitha. Gadis itu duduk menunduk. Zarael datang, "Inii semua gara - gara kamu!! Seandainya sedari awal kamu setuju aku yang antar Ibu dan kamu ke pasar. Ini pasti nggak akan terjadi, sialan!!" bentaknya di depan muka Nalitha.
Nalitha tersentak kaget. Wajah Zarael benar - benar tak bersahabat. Dia bukan Zarael. Pemudah hangat yang Nalitha temui. "Zarael ... semua salahku. Maafkan aku ...," lirih Nalitha terisak.
Zarael pergi. Ia kecewa. Sebenarnya ini bukanlah kemauannya. Menyalahkan Nalitha di atas semua kecelakaan ini. Ia sadar. Nalitha juga terluka. Tapi emosi menguasai pemuda itu. Dan Nalitha menjadi sasaran kemarahannya. Sementara Olivier berdoa terus. Istri yang ia cintai pasti selamat, harapnya. Tiba - tiba pintu ruangan terbuka. Menampilkan sosok dokter yang sudah pasti membawa kabar. "Kami mohon maaf, Pak. Ibu Sisilia tak dapat diselamatkan," paparnya.
Petir menyambar ulu hati Olivier dan Zarael. Mereka berdua terjatuh. Kehilangan sosok wanita multi peran yang selalu ada untuk mereka berdua. Nalitha tak kalah shock. Ia mencap dirinya pembunuh atas kematian Sisilia. Lantas ia mendekati Olivier, berkata, "Om ...," gumamnya takut.
"Jangan pernah tunjukan wajahmu di hadapan saya maupun putra saya. Terhitung sejak hari ini," kata Olivier lugas. Lalu ia pergi membawa putranya. Meninggalkan Nalitha yang diselimuti rasa bersalah. Nalitha bingung. Ia takut. Hatinya trauma berat menjalani hari esok. Pandangan Zarael dan Olivier berubah padanya. Mereka telah membenci Nalitha. Sama seperti sikap keluarga Nalitha.
Proses pemakaman Sisilia berjalan cepat. Nalitha hanya bisa melirik dari kejauhan. Ia takut ke sana. Pasti ia akan diusir. Sebab bukan keluarga Sisilia saja yang menyudutkannya, hampir semua orang. Arga, ayah tiri Nalitha datang ke rumah Nalitha. Ditemani sang istri dan anak. Jenni dan Arsila.
"Mereka seakan berkat buat kamu. Tapi kamu membawa malapetaka di tengah - tengah keluarga itu," ucap Arga. "Kamu puas melukai hati orang terdekatmu? Kamu lebih pantas hidup sendiri," tambah Jenni.
Nalitha bungkam. Ia tahu siapa dalang di balik semua ini. Jangan lupakan, ia memperhatikan plat mobil yang menabrak Sisilia. Tapi Nalitha tak langsung membawa kasus ini ke jalur hukum. Olivier mengatakan ini musibah yang perlu diselesaikan secara kekeluargaan saja. Ia tak repot menempuh jalur hukum. Nalitha tak mengerti mengapa Olivier menutup kasus ini begitu saja. Padahal perseteruan masih menggantung.
***
Zarael menuntut penjelasan Olivier. Mengapa sang ayah seakan tak peduli kasus kecelakaan Sisilia? Pria itu tak kunjung menjawab. Bahkan sehari setelah Sisilia dikebumikan, Olivier pergi ke luar kota meninggalkan Zarael sendiri. Sebelum pergi ia sempat berkata, "Jangan pernah berusaha mengenal keluarga Nalitha. Jauhi gadis itu!" peringatnya.
Memasuki semester kedua, di sekolah Zarael pindah tempat duduk ke belakang. Ia diam, pun Nalitha. Jika kemarin mereka dekat, sekarang bagai orang tak pernah kenal. Nalitha masih terus merenungi kecelakaan kemarin. Diam - diam ia terisak pilu. Di tengah keramaian ia merasa sunyi. Melihat teman sekelasnya ribut dan bahagia ia tetap diam. Begitu pula Zarael. Ia awalnya adalah anak periang. Mudah akrab dan diterima hangat oleh orang lain.
Sepulang sekolah, Zarael mendapati Olivier yang sedang duduk di kursi ruang tamu. Zarael pastikan akan ada berita terbaru. "Lusa kita akan pindah ke Singapura. Siapkan diri kamu."
"Pa, udah nanggung aku pindah. Dua minggu lagi, kan aku ujian UAS," kata Zarael keberatan.
"Papa yang urus. Persiapan kamu aja urus. Untuk masalah sekolah, semua segera beres," jelas Olivier.
Zarael berlari ke rumah Nalitha. Ia mengetuk pintu itu cukup kuat. Anggap saja kurang sopan. Secepat mungkin Nalitha membuka pintu. "Ada apa, Zarael?"
Pemuda itu memeluk Nalitha. "Nalitha, jujur, aku suka kamu dari kelas sepuluh. Sekarang aku mengenalmu cukup jauh. Darimu aku belajar banyak hal. Cara mencintai diri sendiri di saat orang lain membenci kita, arti berjuang, dan ikhlas. Kamu gadis baik. Suka berbagi. Aku minta maaf Nalitha. Di atas kematian ibuku, semua bukanlah salah. Tak sepantasnya aku membencimu. Itulah takdir." Zarael menjeda ucapannya. Ia ingat, ia pernah bermimpi giginya putus. Itu bukanlah mimpi biasa, melainkan sebuah pertanda. Dengan segala keberanian ia mengungkapkan perasaannya, "Aku sayang kamu, Nalitha. Jika ada kesempatan, aku akan berusaha menemuimu."

***
Nalitha menutup buku hariannya. Sepenggal kisah mengenai pemuda yang dulu pernah menjadi tetangganya. Ia masih menunggu kedatangan Zarael. Jujur saja. Ia sangat merindukan pemuda itu. Dalam pekatnya gelap gulita, Nalitha tersadar. Bagaimana pun, ia harus tetap berani melangkah maju. Zarael hanya berperan sebentar dalam hidupnya. Ia harus ikhlas. Inilah sepenggal kisah romansa Nalitha di masa putih abu - abu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 21, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan Cerpen Anak Literasi AwTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang